Mahar Cinta (Bagian 8)
Mahar Cinta (Bagian 8)
Semilir angin menerpa kulit pelan, menyentuh permukaan gamis berbahan katun itu berkali-kali. Gugusan pohon cengkeh dengan bau yang khas menjumpai indera penciumanku, daunnya yang bewarna coklat, gugur, dihempas oleh angkuhnya sang angin hingga tergeletak tak berdaya diatas tanah rerumputan yang hijau.
Aku masih diam, duduk diatas bangku panjang dibawah
pohon cengkeh yang tergolong besar itu. Bahkan daunnya begitu lebat, hingga
berhasil menghalau sinar mentari yang hendak menyentuh apa saja yang berada
dibawahnya, termasuk diriku.
Pikiranku menerawang, mencoba mencerna dan mengingat
apa saja yang dikatakan oleh Mbak Anis kemarin.
“Kalian memiliki deadline ta’aruf tiga minggu lagi.
Jika ada kecocokan, maka akan dilanjutkan dengan proses khitbah. Tenggang waktu
ini bisa digunakan untuk istikharah,” ujar Mba Anis, sepupu sekaligus perantara
ta’aruf antara aku dan juga Mas Fatih. Aku terkejut, namun segera menguasai
ekspresi wajahku menjadi lebih biasa. Tiga minggu? Itu terlalu cepat menurutku.
“Apa tidak terlalu cepat, mbak?” jawabku ragu.
Kulihat Mas Fatih melirikku sekilas.
“Jika itu niat baik, kenapa harus menundanya?
Lagipula kalau lama-lama namanya bukan ta’aruf, dek,”
“Kalau tidak cocok?” kini Mbak Anis menatapku lama.
Seolah ia tau akan keraguanku.
“Makanya mbak katakan istikharah dulu. Insyallah
setelah itu kalian akan menemukan jalan yang terbaik,”
Waktu itu kami bertiga memang tengah bertemu dirumah
Mbak Anis, mbak sepupuku yang kini sudah memiliki satu orang anak. Dia lah yang
menjadi perantara sekaligus pengatur ta’aruf ini.
“Kau ragu, Zah?” aku terhenyak, mendapati pertanyaan
dari Mas Fatih yang sepertinya kecewa
karena aku tadi sempat mengatakan kalimat ketidakcocokan pada Mbak Anis.
“Bu ... Bukan begitu, Mas. Tapi ....” aku menghentikan
bicaraku, berpikir sejenak untuk menemukan kata-kata yang pas. “Afwan, Mas. Aku
tidak bisa mengatakannya,” lanjutku menyesal.
“Zahra, ta’aruf itu tidak boleh ada saling rahasia
atau menutup-nutupi seperti itu. Semua harus terbuka dan transparan agar
semuanya menjadi jelas,” tegur Mbak Anis. Kali ini aku melihat Mas
Fatih benar-benar kecewa denganku. “Coba katakan, apa yang mengganjal hatimu?”
tanya Mbak Anis sedikit melembut.
“Aku hanya ... sebenarnya,” lagi-lagi aku diam.
Entahlah, mulut ini sulit sekali untuk menjelaskan. “Sebelum Mas Fatih dan
keluarganya meminta ta’aruf ini, dikampus ada seorang akhi yang menjadi
muallaf,”
“Lalu apa hubungannya dengan ini, Zah?” tanya Mas
Fatih tidak mengerti.
“Dia menjadi muallaf karena ingin menikahiku,” aku
menunduk dalam. Tidak berani melihat atau bahkan melirik bagaimana ekspresi dua
orang yang ada disampingku ini. Hening, selama beberapa menit tak ada suara
yang menghampiri indera pendengaranku.
“Jadi karena itu kau meragukanku, Zah? Kau mencintai
dia? Kenapa kau tak mengatakannya sejak awal?” ujar Mas Fatih. Nada suaranya
terdengar berbeda dari sebelumnya.
“Afwan, Mas,” jawabku masih menunduk dan sangat
menyesal karena sejak awal aku tidak berterus terang.
“Lalu kenapa dia tidak kunjung datang? Kalau memang
serius, seharusnya dia sudah menemui Paklek sejak kemarin-kemarin. Lalu kenyataannya bagaimana?” ujar Mbak Anis.
Ia menyentuh telapak tanganku yang dingin, menggenggamnya erat. “Kau tau, tak
seharusnya seorang perempuan menolak niat baik seorang laki-laki tanpa alasan
syar’i yang telah dibenarkan. Begitupun sebaliknya. Kau tau maksud mbak, kan?”
aku mengangguk kecil. “Dulu, mbak memang ragu saat akan menikah dengan Mas
Sandi, sama sepertimu. Mbak saat itu masih menyukai secara diam-diam orang lain.
Namun karena tulang rusuk mbak memang Mas Sandi, kami pun akhirnya
dipersatukan. Ingat, tresno jalaran saka kulina, dek.”
“Mungkin kami memang harus shalat istikharah dulu,
mbak. Insyallah, tiga hari kedepan aku dan Zahra akan memberi jawaban pasti akan
kelanjutan ta’aruf ini,” Mas Fatih melirikku sekilas, meski sedikit ragu aku
akhirnya mengangguk kecil.
“Ya, memang itu yang harus dilakukan. Pikirkan
matang-matang, minta petunjuk pada Allah,” ujar Mbak Anis. Ia tersenyum tipis.
“Baiklah, afwan aku ada janji dengan seseorang.
Assalamualaikum,” pamit Mas Fatih.
“Wa’alaikumsalam.”
***
Aku menghembuskan nafas panjang, sampai sekarang
jawaban itu belum kunjung datang dan menyelesaikan kegelisahanku.
Drtt drtt ... ponselku bergetar, ada sebuah
panggilan masuk dari ibu.
“Assalamualaikum, bu. Ada apa?”
“....”
“Siapa?”
“....”
“Ya, bu. Zahra segera pulang,”
“....”
“Wa’alaikumsalam,” aku mematikan panggilan lantas
segera beranjak untuk pulang. Sepertinya ada tamu yang ingin menemuiku. Kata
ibu tadi, tamu itu adalah temanku dari universitas. Mungkin dia Fatimah, karena
dia teman terdekatku dan baru kemarin juga ia mengatakan libur semester ini
ingin kerumahku, silaturahmi. Aku beranjak dari tempat dudukku, bergegas pulang untuk menemui Fatimah.