Senja dalam Setia (Bagian 12) END

Senja dalam Setia (Bagian 12) END

Lukisan orange itu masih tempampang nyata didepan mata Aini. Burung-burung emprit yang berterbangan membentuk formasi huruf V berlalu lalang diatas langit yang kini mulai memasuki petang. Gadis itu masih diam, berdiri diatas balkon kamarnya dilantai dua yang menghadap ke arah barat. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan semilir angin yang menyentuh kulit mukanya. Sejuk dan indah. Indah karena kini ia tengah menikmati senja yang menjadi favoritnya.

Teringat sesuatu, Aini lantas bergegas masuk ke kamar untuk mengambil sesuatu. Setelah mendapatkannya, ia lantas kembali lagi. Sebuah buku yang cukup tebal dengan latar belakang warna orange kini sudah berada ditangan gadis itu.

-Cinta itu bukan pilihan, tapi ketidaksengajaan. Itu bisa menjadi sakit, ketika kau memilih untuk berkorban demi cinta. Seperti matahari yang menenggelamkan dirinya untuk sang rembulan. Awalnya memang terlihat indah, tapi kau tidak pernah tau jika matahari mungkin tengah menangis dalam diamnya- Senja dalam Setia...

Gadis itu tersenyum kecil ketika membaca kutipan dicover belakang novel tersebut. Novel yang pernah diberikan oleh Dimas lima bulan yang lalu. Jika bisa diibaratkan, Dimas adalah matahari, Faris adalah rembulan, dan Aini adalah bintang. Matahari yang menyukai bintang dan rembulan yang juga menyukai bintang. Tapi matahari tau, jika ia tidak akan pernah bisa bersama bintang digelapnya malam. Matahari memilih untuk tenggelam, dan membiarkan rembulan untuk bersama bintang. Indah memang pada awalnya, karena semua itu disaksikan oleh senja yang menawan. Tapi tidak bagi matahari, mungkin ia menyimpan sakitnya dalam diam agar tak membuat rembulan bersedih dan selalu menjadi teman meskipun ada perbedaan dan pengorbanan.

Dimas memang pernah menjabarkan arti itu sebelumnya, tapi kini Aini baru benar-benar paham apa maksud dari kutipan itu.

Kini hubungan Aini dan Faris tengah memasuki bulan ke tiga. Gadis itu sudah kelas dua belas sekarang. Mereka berdua memutuskan untuk menjalankan LDR, karena kini Faris tengah menjalankan studi S1 nya di tanah perantauan yang jauh. Jika dulu Dimas dan Faris selalu satu sekolah bahkan satu kelas dari SMP, kini mereka berdua telah berpisah dengan masa depan masing-masing.

Drrttt drrtt.. ada pesan masuk dari ponsel gadis itu yang sengaja ia taruh diatas balkon kamar.


From: Pangeran ‘senja’ ku


Pasti sekarang tengah melihat senja diatas balkon kamarmu. Jangan lupa makan, dan segeralah masuk kamar. Udara sore menjelang malam tidak begitu baik. Aku merindukanmu, Aini ku.


Gadis itu tersenyum setelah membaca pesan dari pangeran senjanya yang tak lain adalah Faris. Ia lantas mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan itu.

To: Pangeran ‘senja’ ku


Dasar sok tau. Baiklah aku mengerti pangeran senja yang super bawel. Aku juga sangat merindukanmu.

Senja memang menyimpan banyak misteri didalamnya. Ia bisa diartikan lambang kebahagiaan dan juga kepahitan. Tapi bagi Aini, senja adalah proses. Proses dimana mengajarkan ia banyak hal tentang hidup ini. Senja adalah penutup dari segala masalah dan senja adalah tempat pengadu yang sangat bijaksana.

Kak Faris, aku akan menunggumu. Menunggu bersama senja yang selalu mengingatkanku akan dirimu. Yang selalu dapat mengikis rindu yang menggebu padamu. Senja dalam Setia...

END
Baca selengkapnya

Senja dalam Setia (Bagian 11)


Senja dalam Setia (Bagian 11)

Tak seharusnya aku hanya berdiam diri

Menunggumu dari kejauhan tanpa kata

Meskipun aku tau ini terkesan pengecut

Aku masih berharap kau tidak menganggapnya begitu

Besok, tunggulah aku ditaman belakang sekolah

Seusai ekstrakulikuler PMR

From: Pangeran “senja” mu

‘Aini tertegun. Surat ini lagi. Siapa sebenarnya pangeran ‘senja’ itu?’

Matahari telah berada pada seperempat perjalanannya. Aini masih diam, mengamati surat yang baru saja ia temukan di laci mejanya.

“Aku sudah membacanya.” Dinda tiba-tiba datang dari arah belakang.

“Kau ini, mengangetkan saja.” Aini mendengus, lantas melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam tas.

Ini sudah berjalan hampir dua bulan, namun Aini tak pernah tau siapa pengirim surat itu. Tebakannya jika Kak Faris adalah sang pengirim, sepertinya salah. Ya, karena mereka berdua jarang sekali berkomunikasi, dulu Faris selalu mengobrol banyak pada Aini, tapi sekarang ia cenderung diam, ia lebih memberikan senyum kecil saja saat mereka berpapasan. Apalagi kini terdengar gosip, jika Faris tengah dekat dengan teman satu angkatannya.

“Sudah, jangan dipikirin lagi. Besok kan pasti tau siapa Pangeran ‘senja’ mu itu,” ujar Dinda. “Oh ya, besok aku boleh ikut?” tanyanya.

“Enggak usah deh kayaknya,” jawab Aini.

“Kenapa? Aku juga kepo kali.” Dinda tidak mau tau.

“Terserah kau saja. Tapi sembunyi ya.”

“Oke Aini ku ...”

***

Tepat seperti apa yang tertulis disurat kemarin, seusai ekstrakulkuler PMR yang gadis itu ikuti, ia lantas menunggu Pangeran ‘senja’ dibangku taman belakang sekolah. Tentu saja ia tidak sendiri, ada Dinda yang mengintipnya dibalik pohon mangga yang tidak jauh dari tempat duduknya sekarang.
Lima menit gadis itu menunggu, belum ada tanda-tanda seseorang menghampirinya. Hingga sebuah siluet tinggi tiba-tiba sudah berada didepan mata gadis itu.

“Kak ..., Faris.” Aini lantas bangkit dari duduknya. Ia sangat terkejut kenapa tiba-tiba ada Kak Faris. Apa jangan-jangan dia??

Faris tersenyum kecil, lantas meletakkan tas hitam punggungnya disamping Aini.

“Pangeran ‘senja’ itu, aku,” ujar Faris. Aini masih diam, ia mengerjapkan mata beberapa kali, bingung dan terkejut.

“Kak Faris ....” Aini tidak dapat melanjutkan ucapannya. Sungguh, ini diluar dugaan.

“Maaf jika selama ini aku mengganggumu dengan surat-surat itu. Sebenarnya aku tidak ingin, tapi keadaanlah yang memaksaku untuk melakukannya,” ujar Faris.

“Aku tidak mengerti, Kak.”

“Aku menyukaimu, Ai.” DEG! Jantung gadis itu seketika berpacu kencang. Ada desiran aneh dalam tubuhnya. Ia menunduk, bingung harus menjawab apa. Ini terlalu tiba-tiba.

“Aku menyukaimu sebelum Dimas menyatakan jika dia juga menyukaimu, Ai.”

“Aku ....”

“Mau tidak kau jadi pacarku?” Faris menatap Aini lama, menunggu jawaban. Gadis itu masih saja diam. “Aini Az Zahra ....” Panggil Faris.

“Tapi ... aku ... bagaimana dengan Kak Dimas?” tanya gadis itu kemudian. Faris tersenyum kecil.

“Dia sudah tau semuanya.”

“Apa? Jadi?”

“Ya, Dimas yang menyuruhku mengatakan ini. Aku menyukaimu, Ai. Bagaimana? Apa kau juga begitu?”

“Bukankah Kak Faris dekat dengan orang lain?” tanya Aini.

“Aku tidak dekat dengan siapapun, Ai. Aku hanya menyukaimu seorang. Mungkin ini membuatmu begitu terkejut. Jika kau tidak enak karena Dimas, sungguh, Dimaslah yang memintaku untuk segera menyatakan perasaan ini padamu ketika ia tau jika aku adalah seseorang yang mengirimmu surat itu.” Deg! Jantung Aini kini berdegup lebih kencang lagi. Ia tidak tau harus menjawab apa. Tiba-tiba saja ponselnya bergetar, ada pesan masuk.

From: Kak Dimas


Mungkin sekarang kau tengah bersama Faris. Aku sudah tau jika ia adalah Pangeran ‘senja’ mu sehari setelah kau menanyakan perihal surat itu padaku. Awalnya aku diam, aku tidak bisa menerima jika Faris ternyata menyukaimu. Tapi kemudian aku sadar, aku salah, dan aku akan mengalah untuknya. Kami telah bersahabat lebih dari enam tahun, aku tidak akan membiarkan persahabatan ini kandas hanya karena cinta. Ai, bisakah kau menerima Faris? Meskipun ini akan terasa sakit untukku, tapi aku pasti akan bahagia jika melihat kalian bahagia seperti itu.

“Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Faris yang mendapati Aini diam setelah membaca pesan itu.

“Dari Kak Dimas,” ujar gadis itu

“Apa yang dia katakan?”

“Kak, kenapa waktu itu aku menolak Kak Dimas?” pertanyaan tiba-tiba Aini yang mengubah topik pembicaraan mereka. Faris mengernyit tidak tau. “Itu karena aku menyukai kakak.” Aini tersenyum kecil.

“Berarti?” gadis itu mengangguk hingga membuat senyum Faris mengembang begitu lebar. Ia bahagia, ternyata seseorang yang diam-diam disukainya juga menyimpan rasa padanya.

“Terima kasih, Ai,” ujar Faris tulus. Aini hanya mengangguk dengan bibir yang masih memamerkan senyum bahagia.

“Banyak yang ingin aku tanyakan pada Kakak setelah ini.”

“Tanya apa?”

“Kenapa Kakak bisa tau aku sangat menyukai senja?”

“Kalo itu ..., rahasia,” ujar Faris yang mendapat poutan bibir kesal dari Aini. Mereka lantas tertawa bersama. Sedangkan Dinda, gadis itu masih saja setia mengintip sahabatnya dibalik pohon mangga, enggan untuk keluar meskipun kini ia tau bahwa mereka pasti telah jadian. Satu hal yang paling Dinda takutkan, ia takut jika Aini menagih pertaruhan kemarin. Pertaruhan jika Aini berpacaran dengan Dimas. Tapi nyatanya, Aini malah berpacaran dengan Faris dan itu artinya ia kalah dalam pertaruhan ini.

Bersambung ...
Baca selengkapnya

Senja dalam Setia (Bagian 10)

Senja dalam Setia (Bagian 10)

“Kak Faris?” tanya Dinda. Aini mengangguk singkat. “Tapi aku nggak begitu yakin,” ujarnya lagi.

“Dari semua kejadian yang kau ceritakan padaku, Kak Faris memang seseorang yang patut untuk dicurigai,” simpul Dinda. “Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”

“Entahlah, aku ..., oh ya hampir lupa. Din, anterin aku ke kelasnya Kak Dimas.” Aini lantas bergegas memakai sepatunya.

“Ada apa? Kau berubah pikiran?” Dinda tersenyum jahil.

“Aku mau membayar hutang. Cepatlah, jangan berpikir yang macam-macam.” Aini menarik lengan Dinda untuk segera mengikutinya. Mereka memang baru saja selesai melaksanakan sholat dzuhur di musolla sekolah.

“Semoga saja Kak Dimas masih di kelasnya,” ujar Aini.

***

Kelas XII MIPA 1. Mereka berdua akhirnya sampai. Dan beruntung, didalam hanya ada Dimas dan Faris yang terlihat sedang membereskan buku dan alat tulis lain. Mungkin mereka baru saja selesai mengerjakan tugas.

“Ai, Din, ada apa kemari?” tanya Dimas pada mereka berdua.

“Terima kasih untuk pinjamannya kemarin, Kak,” ujar Aini lantas menyerahkan tiga lembar uang kepada Dimas.

“Terima kasih kembali.” Dimas menerima uangnya lantas tersenyum tipis. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

“Ya sudah, kami akan ke musolla lebih dulu. Belum sholat dhuhur,” ujar Dimas. Aini dan Dinda mengangguk.

“Aku tidak yakin itu Kak Faris. Lihatlah, dia sedari tadi hanya diam dan tersenyum saja,” ujar Dinda tiba-tiba setelah Dimas dan Faris meninggalkan kelas.

“Aku pikir juga begitu. Kenapa dia berbeda dengan saat motornya mogok kemarin?”

“Atau mungkin karena disini ada Kak Dimas sehingga Kak Faris cenderung tidak banyak bicara?”

“Aku tidak tau. Sudahlah, ayo pulang. Jangan dipikirkan lagi,” ujar Aini. Ia lantas berjalan lebih dulu meninggalkan kelas.

“Ai, aku belum menanyakan kenapa kau menolak Kak Dimas. Apa ada orang lain yang kau sukai? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Dinda yang kini sudah berada disamping Aini.

“Itu rahasia.” Aini menjulurkan lidahnya. “Jangan lupakan dengan pertaruhan kita kemarin. Ingat! Ini sudah terikat perjanjian. Kau akan berdosa jika mengingkarinya.” Dinda langsung diam, padahal ia sudah berharap Aini akan melupakan pertaruhan konyol dan gila itu.

“Ai, ayolah. Lupakan masalah taruhan ini. Ya? Ya?” Rayu Dinda dengan wajah yang dibuat se’ngenes’ mungkin.

“Aku tidak mau,” ujar Aini masih dengan senyum yang mengembang.

“Ayolah, Ai. Tega kah kau akan mempermalukan sahabat sebaik dan secantik aku? Nanti bagaimana jika aku menjadi trending topic diseluruh sekolah? Nanti bagaimana jika para cowok-cowok disini menjadi ilfil padaku? Ah, bisa-bisa aku akan menjadi jomblo sampe lulus.”Aini tertawa melihat sahabatnya yang sedang merajuk itu. Masih tetap berjalan, ia mengacuhkan Dinda yang sedari tadi menempelinya seperti cicak.

Bersambung ...
Baca selengkapnya