Dua Lampu Suci


Cahaya senja telah usai menunggu esok menyapa sang fajar. Saat rentan waktu itu aku tersadar, ada cahaya lain selain kalian. Hingga sampai kepada masa bertuankan keegoisan, disitu ada penyesalan.

Puisi Dua Lampu Suci


Dua Lampu Suci



Ada dua lampu dalam hidupku
Yang satu suci nyalanya terang
Lainnya redup kini tak bertuan
Walaupun begitu kalian selalu akur
Tak pernah iri akan perhatianku

Nyala terang selalu memanggil ketika senja usai
Nyala redup memohon saat aku menguap
Walaupun bisa kapan saja aku mematikanmu
Tetapi kau selalu hidup saat aku membutuhkan jasamu
Kau ada bersanding dengan terang rembulan
Cahayamu menerangi dunia sekitar
Melindungi setiap insan

Saat aku membutuhkan kedua sinarmu, kau selalu hadir
Hadir pada saat yang tepat
Mencairkan suasana jiwa yang gelap
Yang kerap menggerogoti jiwaku

Sampai tiba dimana masa mengikis terangmu
Jikalau redup tentu bukan salahmu
Jikalau mati sampai hati aku pecahkan
Aku akan kesepian
Menunggu hadirmu menemaniku kembali

Dulu kau ada saat kegelapan melanda
Dulu kau hadir saat ketakutan meraja
Sekarang sirna ditelan masa
Sungguh bodohnya aku
Saat dunia terang aku selalu mengacuhkanmu
Saat gelap aku membutuhkanmu
Betapa egoisnya aku

Tiba saatnya dunia gelap gulita
Tampak semuanya meraba
Itukah yang kalian inginkan
Bentuk penghakiman akan keegoisanku


Karya : Mushanif Ramdany,
Purwokerto
 
Baca selengkapnya
Antara Cinta dan Jodoh (Keputusan Aisha) Part 7 - Oleh CKH

Antara Cinta dan Jodoh (Keputusan Aisha) Part 7 - Oleh CKH



Antara Cinta dan Jodoh (Keputusan Aisha) Part 7

Setelah selesai melaksanakan shalat isya’ berjamaah, kini Aisha sudah duduk di sofa di depan Abahnya. Terlihat sang Abah menyeruput kopi hitamnya sekali, lantas menatap Aisha yang kini tengah membolak balikkan majalah.

“Kak?” ujar Abah Aisha yang lantas membuat gadis itu mendongak, menatapnya.

“Ya, Abah?” balas gadis itu sembari membenarkan letak duduknya.

“Abah mau bicara penting,” dahi Aisha berkerut bingung.

“Kemarin ada seseorang yang datang dengan orang tuanya ingin melamarmu.”

“Melamar?” tanya Aisha lagi memastikan. Abahnya hanya mengangguk lantas menyeruput kopi hitam ditangan kanannya. Diam-diam gadis itu tersenyum tipis, ini pasti Arif. Batinnya.

“Kenapa Abah tidak memberitahu Aisha?”

“Waktu itu kan kau masih dikampus. Dan kedatangannya kemari juga mendadak.” Aisha hanya mengangguk paham.

“Lalu Abah menerimanya?”

“Tentu saja. Siapa yang tidak ingin mendapat menantu seperti dia, yang sudah jelas kesholehan dan kemapanannya. Insyallah, dia bisa menjadi mahram yang mampu menuntunmu ke surga. Lagipula sebenarnya Abah telah menjodohkan kalian sejak kecil.” Aisha diam, mencerna kalimat Abahnya itu saksama. 

Menjodohkan sejak kecil? Siapa gerangan laki-laki itu? Jika Arif, tidak mungkin, karena ia baru bertemu dia saat SMA. Lalu? Menyadari putrinya diam, Abah segera menjelaskan.

“Dia putra dari Mas Husein, yang dulu selalu kau panggil Pakde. Anak laki-laki yang selalu menjahilimu. Kini dia sudah lulus S2 di Madinah. Tahfidz Qur’an juga meski baru 8 juz. Namanya Muhammad Akbar Al-Ghifari. Kau masih ingat, kan?” jelas Abah yang sukses membuat Aisha menunduk dalam. Ini tidak seperti yang ia harapkan. Ya, meskipun ia tau jika Akbar adalah sosok calon imam idaman, namun tetap saja gadis itu menyukai orang lain. Orang yang sudah ia tunggu dan orang yang sebentar lagi akan menghalalkannya.

“Abah harap keputusanmu tidak akan mengecewakan.”

“Tapi, bah. Aisha kan masih kuliah,” gadis itu berusaha mencari alasan yang cukup masuk akal untuk menolak lamaran Akbar. Abahnya hanya tersenyum kecil.

“Hanya itu kekhawatiranmu?” Aisha mengangguk sekali.

“Tidak masalah. Lagipula kampus tidak akan mengeluarkanmu hanya karena sudah ada ikatan, kan? nanti kau bisa belajar bersama nak Akbar. Ada yang menuntunmu, Kak,” ujar Abah Aisha. Gadis itu menunduk lagi.

“Minggu depan kita akan menentukan tanggal pernikahan.”

“Secepat itu?” tanya Aisha terkejut yang disambut senyum tipis oleh Abahnya.

“Ini namanya ‘Ta’aruf’, sayang. Niatnya jelas, tanpa berbelit-belit.”

“Tapi, Bah. Aisha ...,”gadis itu diam sejenak, ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.

“Kenapa?”

“Tidak jadi.”

“Lalu kau setuju?” Ini adalah keputusan yang sangat berat. Menikah tidak sesimple ‘membeli toples lebaran’ yang sekali melihat, suka, lalu membelinya. Itu terlalu simplek, menikah untuk sekali seumur hidup. Menyatukan dua insan, dua keluarga dihadapanNya, saling berjanji untuk tidak menyakiti dan saling berusaha untuk sama-sama memperbaiki diri. Membangun surga kecil yang tujuan utamanya tentu saja mendapat ridho Allah dan melaksanakan sunah nabi. 

Anggukan kecil dari Aisha berhasil membuat sang Abah tersenyum lebar. Seperti senyum saat pertama kalinya adik Aisha lahir, delapan tahun lalu.

“Sini.” Abah menepuk-nepuk sofa disampingnya, mengisyaratkan gadis itu untuk duduk disana. Aisha lantas menurut. Pelukan itu langsung didapat oleh Aisha. Pelukan yang menurut ia paling hangat didunia. Tak bisa tergantikan oleh apapun dan siapapun. Ya, pelukan Abahnya yang sangat ia sukai.

“Tidak Abah sangka sekarang putri Abah sudah besar. Abah masih ingat sekali ketika kau pertama kali lahir dari rahim umimu, dan Abah membisikkan adzan ditelinga kananmu. Bayi kecil yang berhasil membuat Abah menangis bahagia. Saat kecil kau selalu menagis ketika terjatuh, selalu mengadu ketika ada orang lain yang menjahilimu, selalu memeluk Abah ketika senang karena mendapat ranking dikelas, dan selalu bercerita saat ada laki-laki yang kau sukai dengan disertai senyum malu-malunya. Tapi sebentar lagi mungkin putri Abah tidak akan melakukan hal itu lagi. Sudah ada orang lain yang akan memelukmu ketika bahagia, yang akan mengusap airmatamu ketika menangis, yang akan membisikkan kata semangat ketika putus asa, yang akan menciptakan senyum manis ketika senang. Abah tidak akan menjadi nomor pertama lagi dihatimu, tidak akan menjadi sosok ‘hero’ lagi. Meskipun Abah sangat sedih dan cemburu, tapi Abah tidak akan pernah menyesal, melepasmu pada laki-laki itu. Insyallah, dia akan membimbingmu lebih baik dari Abah.” Aisha merasakan bahunya basah. Apakah Abahnya menangis?

“Abah, tapi kau akan tetap menjadi laki-laki pertama yang Aisha kagumi dan sayangi,” ujar gadis itu sambil menahan suaranya agar tidak serak akibat menahan tangis. Meskipun matanya sudah mengeluarkan bulir bening sejak tadi. Abahnya hanya tersenyum, semakin mempererat skinship pelukan itu.


-Ayah adalah sosok laki-laki hebat, yang selalu mencintai putrinya tanpa syarat apapun-


Bersambung
Baca selengkapnya
Contoh Surat Lamaran : Cara Menulis Surat Lamaran Dengan Benar

Contoh Surat Lamaran : Cara Menulis Surat Lamaran Dengan Benar

Menulis surat lamaran yang baik dan benar tentu saja tidak semua orang bisa membuatnya. Surat lamaran yang ditulis dengan tangan sendiri, rapi dan sopan isinya tentunya menjadi nilai plus untuk seseorang mengajukan lamaran perkerjaan pada suatu perusahaan selain dokumen penting pribadi seperti Ijazah, SKHU, Piagam, SKCK, Surat Kuning dari Depnaker dan lain sebagainya. Sebelum berlanjut ke contoh surat lamaran yang baik dan benar, simak dulu hal yang harus diperhatikan dan unsur dalam surat lamaran :
Hal yang harus diperhatikan dalam surat lamaran
Isi surat lamaran tidak boleh dengan nada meminta-minta seperti “ Saya berharap Bapak/Ibu menerima saya sebagai karyawan anda, atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih “  tetapi harus menggunakan nada optimis bahwa anda mampu bekerja dengan baik/ secara profesional.
Tidak boleh ada coretan maksudnya lembar surat lamaran harus bersih dan rapi.
Tentunnya surat lamaran harus Anda tulis sendiri dengan kertas folio atau yang lain tetapi kertas tersebut tidak digunakan bolak-balik baik dikertas bergaris maupun yang tidak.
Jika perusahaan tersebut meminta /mengijinkan surat lamaran dalam bentuk ketikan, ketiklah pada kertas berkualitas minimal HVS 60gr dengan jarak ½ spasi. 
 Sapaan yang digunakan dalam surat lamaran :

-          “Bapak/Ibu”, Jika lamaran anda ditunjukan kepada perusahaan Swasta/Nasional
-          “Tuan”,  apabila anda akan melamar pekerjaan ke perusahaan Asing

Unsur-Unsur dalam surat lamaran :
1.       Kota dan tanggal pembuatan surat
2.       Lampiran
3.       Perihal
4.       Nama dan alamat tujaan surat
5.       Salam pembuka surat
6.       Isi surat
7.       Kualifikasi/identitas si pelamar
8.       Unsur penunjang yang dilampirkan
9.       Penutup Surat
1     Salam Penutup, ttd dan Penutup surat

Contoh Surat Lamaran :







Purwokerto, 26 Oktober 2015
Perihal                  : Permohonan menjadi karyawan
Lampiran             : 5 Eksemplar

Yth. Pimpinan Koperasi Astra Nasional
Jalan Anjasmoro 16, Lantai 13
Jakarta Pusat

Dengan hormat,
                Berdasarkan Iklan yang dimuat diharian Samarinda Post, tanggal 20 Oktober 2015, Koperasi Astra Nasional membutuhkan karyawan administrasi. Sesuai dengan jenis lowongan tersebut, dengan ini saya yang beridentitas :
Nama                                        : James Sultan Hakim,
tempat dan tanggal lahir               : Samarinda , 20 Agustus 1990,
pendidikan terakhir                      : MAN Purwokerto 1, Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
alamat                                        : Jalan Anggrek 34, Purwokerto Timur, Telephon (0281) 789XXX,

bermaksud mengajukan permohonan untuk menjadi karyawan administrasi di Koperasi Astra Nasional.

Sesuai dengan persyaratan yang telah disebutkan, saua mempunyai kualifikasi yang cukup memadai untuk melakukan pekerjaan di bidang perkantoran. Oleh karena itu bersama ini saya lampirkan beberapa berkas yang menunjukan kualifikasi saya yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.
1.       Fotokopi ijazah dan piagam penghargaan.
2.       Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian.
3.       Fotokopi Ijazah Komputer Microsoft Office Word.
4.       Daftar riwayat hidup.
5.       Satu lembar fotokopi KTP
6.       Satu lembar pas foto berukuran 3x4
Atas Pertimbangan dan Perhatian Bapak/Ibu terhadap surat lamaran ini saya mengucapkan terimakasih.


Hormat saya,

Ttd

Nama

Oke Sekian  semoga bermanfaat untuk anda yang ingin melamar pekerjaan, good luck. 
Baca selengkapnya

Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG)



Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG) 

Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG)


Semilir angin berembus ringan, daun-daun cemara berguguran diatas batako merah yang sedikit basah karena guyuran hujan tadi malam. Surya pun tak kunjung menampakkan dirinya meskipun jarum jam sudah berada diangka sepuluh.

Aini dan Dinda dengan riang berjalan menuju kantin sekolah. Hari ini benar-benar menyenangkan, bagaimana tidak? Karena hari ini untuk pertama kalinya Dinda memenangkan quiz dari Pak Boim.

“Aku nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini, Ai. Aku akan mentraktirmu,” ujar Dinda masih dengan senyumnya yang mengembang.

“Oke, aku akan memesan mie ayam dan es jeruk.”

“Mie ayam, bakso, soto, nasi goreng, siomay, es jeruk, es teh, es susu, es sirup, semua juga boleh.” Aini menatap sahabatnya itu lama, seolah mengatakan ‘Benarkah? Memangnya kau punya uang sebanyak itu? Atau kau memacari mas-mas penjual dikantin?’ Mengerti arti tatapan dari Aini, Dinda pun hanya meringis kecil.

“Maksudku kau bisa pesan salah satu,” jawabnya tersenyum malu.

“Dasar kau ini. Baiklah, aku tau kantong pelajar kok. Lagipula itu lebih baik, aku kira kau pacaran sama Mas Slamet sampe bisa nawarin aku makan sebanyak itu,”

“Hey!! Aku lebih baik jomblo seumur hidup daripada harus pacaran sama Mas Slamet,” balas Dinda kesal setengah mati. Yang benar saja, ia dikira pacaran dengan penjual kantin yang bahkan giginya tak penuh itu alias ompong. Ditambah gigi paling depannya dilapisi emas. Bayangkan saja kalau sedang tersenyum, alamak itu giginya berasa langsung memancarkan sinar keemasan yang membuat semua wanita terpana.

“Jangan begitu Din, jodoh itu nggak ada yang tau. Semua rahasia yang diatas,”

“Aku tau. Kau juga jangan mulai. Selera makanku jadi menurun nih,”

“Oke, I’m Sorry Baby,” ujar Aini seraya merangkul pundak Dinda erat.

“Kebiasaan,” dengus Dinda namun selanjutnya ia tersenyum tipis.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal Pak Boim, aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang udah lamaa banget.” Aini tersenyum penuh arti, hingga tanpa sadar menghentikan langkah kaki Dinda.

“Aini ya ...”

“Apa?” Aini tersenyum lagi.

“Plisss, jangan bahas itu lagi. Dan lupakanlah,” mohon Dinda mengerti apa yang dimaksud sahabatnya ini.

“Tapi aku nggak mau.”

“Ayolah, Ai. Kau merusak moment terbaikku. Barusaja kita berdamai, kau sudah merusakknya lagi.”

“Aku hanya nggak ingin kau berdosa karena nggak nepatin janji.”

“Aku nggak pernah berjanji.”

“Pertaruhan sama dengan janji dan janji sama dengan hutang. Kau tau artinya kan, sayang?” Dinda mendengus sebal mengetahui bahwa sahabatnya ini memang benar adanya.

“Kenapa nggak mengikhlaskannya saja sih? Jika begitu semua akan selesai dengan mudah. Kau tega melakukan hal ‘itu’ pada sahabat karibmu sendiri?” Aini mengangguk ringan sedangkan Dinda menggeleng tidak percaya.

“Aini, apa yang kamu lakukan ke aku itu, JAHAT!” ujar Dinda sangat kesal sembari menirukan gaya bicara Cinta difilm ‘Ada Apa Dengan Cinta 2’

“Ayo cepetan. Aku udah pasang volume paling tinggi nih, tinggal pencet lagu goyang dumang, lalu kau langsung joget. Aku akan menepi,” ujar Aini sambil memainkan ponselnya bersiap melancarkan pertaruhan jaman dulunya itu.

Dinda hanya menggelengkan kepala. Saat ini posisi mereka persis ditengah lapangan saat jam istirahat. Semua siswa berseliweran kesana kemari, ada juga yang duduk santai dibangku pinggir lapangan sembari mengobrol dan makan jajanan, ada yang sedang pacaran, ada yang mainan hp, ada juga yang asik melamun. Musik dinyalakan, semua mata tertuju pada Dinda yang sudah bersiap posisi. Dalam hati ia menyumpahi dirinya nggak akan pernah melakukan taruhan apapun lagi karena ternyata ini lebih buruk dan menakutkan dari yang dibayangkan.

“Mas Arif, kumohon jangan jangan ilfil padaku setelah ini. Aku hanya menunaikan sebuah janji,” ujar Dinda lirih sebelum memulai aksinya. Ia memejamkan mata erat, dan... Bug! Seseorang menjatuhkan tubuhnya pada tubuh Dinda. Memeluk gadis itu erat sekali.

“Sudah, pertaruhan ini sudah berakhir,” bisik suara itu yang tak lain adalah Aini.

“Maaf jika tadi membuatmu takut,” bisiknya lagi. Dinda masih diam, ia terlihat syok dengan pelukan Aini yang tiba-tiba.

“Tidak jadi?” tanya Dinda polos

“Sudah. Kau sudah melakukannya. Besok lagi jangan melakukan pertaruhan apapun yang konyol dan aneh itu. Bagaimana jika seandainya kau bertaruh dengan orang lain dan kalah? Aku nggak bisa ngebayangin kau joget goyang dumang dilapangan ini. Ah, dasar bodoh” Entah kenapa tiba-tiba airmata Dinda menetes begitu saja. Antara bahagia dan terharu. Mereka berdua memang bukan tipikal orang pengecut yang tidak melakukan sesuatu yang sudah disepakati. Dan hari ini mereka membuktikan itu.

“Thank You ...”

“For?”

“Everything” Aini tersenyum simpul sambil mengangguk. Ia merasakan tubuhnya sesak karena pelukan dari Dinda yang semakin erat. Mereka bahkan tidak memperdulikan tatapan siswa lain yang menganggap mereka aneh karena berpelukan ditengah lapangan saat jam istirahat.

“Sudah, lihatlah mereka menatap kita,” Aini melepas pelukan itu. “Kau menangis?” goda Aini sembari menatapi mata Dinda yang sembab.

“Tidak. Siapa juga yang menangis. Sudah, ayo kita kekelas saja,” Dinda berjalan lebih dulu menuju kelas.

“Katanya kau mau mentraktirku?”

“Tidak jadi. Selera makanku sudah hilang,”

“Hey! Tapi aku lapar”

“Din ...”

“Dinda ...”

“Aihhh. Menyebalkan.” Aini mendengus menyadari ia diabaikan oleh Dinda. Meski begitu ia tetap mengikuti Dinda dari belakang.

Kalian tau? hal yang paling berharga dalam hidup adalah sahabat. Dan aku bersyukur bisa memiliki seseorang seperti Dinda. Dinda, Kak Faris, dan Kak Dimas. Mereka seperti senja yang menawan hati. Indah, dan tak tergantikan oleh apapun_ Aini Az Zahra

END_

Oleh: Nina Fitriani

Baca selengkapnya