Antara Cinta dan Jodoh (Takdir) Part 11 END
Ba’da Ashar. Matahari
telah menyingsing kebarat, namun sinarnya masih menyentuh hingga permukaan
bumi. Belaian angin sore yang menyapa kulit terasa menyejukkan, terlebih baru
saja kulit merasakan dinginnya basuhan air wudhu.
Nisa terlihat diam dan
duduk dibangku lobi kampus sembari mengamati ponselnya yang sepi. Ia bosan,
tentu saja. Mengingat sahabatnya yang kini telah bestatus menjadi istri dan
lebih sering berduaan dengan suaminya itu. Biasanya setelah pulang kuliah, ia
akan mengobrol selama dua jam atau bahkan pergi ke mall bersama, atau sekedar
menikmati es nescafe dicafe sebelah. Tapi kini, dia sendiri. Aisha selalu
pulang lebih awal kerumah barunya, ia selalu mengatakan ‘Afwan Nis, aku harus
pulang lebih awal. Aku ingin memasak sesuatu untuk Mas Akbar’ atau ‘Afwan Nis,
hari ini aku sudah berjanji akan langsung pulang, karena Mas Akbar akan
mengajakku pergi’.
Afwan, afwan, afwan. Entah
kenapa sekarang Nisa kesal dengan kata itu. Jika seperti ini caranya, apa ia harus
segera menyusul Aisha? Ah, calon saja tak punya.
“Assalamualaikum,
Nisa,” sapa seseorang yang lantas mendudukkan dirinya disamping Nisa. “Mukamu
kenapa masam begitu? Galau ya?” goda orang itu sambil tersenyum menjahili. Nisa
masih diam, ia malas bertemu orang disampingnya ini.
“Pengantin baru, kenapa
kau tak cepat-cepat pulang saja? Kau tak ingin memasak untuk suamimu itu?” ujar
Nisa ketus yang langsung disambut gelak tawa oleh Aisha.
“Oalah. Jadi ini yang
membuatmu kesal?” Aisha masih menutupi mulutnya untuk menahan tawa. Ia merasa
sangat lucu ternyata sahabatnya ini kesal karena sejak ia menikah, jarang
sekali pergi dengan Nisa.
“Menurutmu?” masih
dengan nada ketus Nisa menimpali.
“Kau ini. Jadi terlihat
ngenesnya kan? makanya jangan jomblo melulu. Cari pasangan gih. Nikah sekalian.
Ternyata nikah muda itu menyenangkan, lho,” ujar Aisha lagi yang semakin
membuat kepala Nisa keluar asap.
“Jangan meledekku deh.
Jangan membuatku kesal. Calonpun aku tidak ada. Setelah nikah, kau benar-benar
membuat tanganku gerah, Sha. Menyebalkan.” Nisa mengomel kesal.
“Baiklah. Afwan-afwan.”
Ujar Aisha meringis sambil memeluk Nisa sekali. “Ngomong-ngomong, ayo kita
pergi makan,” ajak Aisha yang lantas membuat senyum Nisa mengembang.
“Akhirnya ... aku
kangen keluar bareng kamu, Sha. Fuihh, aku pikir kau hanya akan berdua saja
dengan suamimu kemana-mana.” Aisha tersenyum tipis.
“Tapi makannya dengan
Mas Akbar, ya.” Nisa melotot tidak setuju.
“Ayolah. Please ....”
Mata Aisha mengerjap beberapa kali dengan senyum paling manis dan tatapan
memohon pada sahabatnya itu. Nisa diam, dia tau kalo Aisha memang sangat jago
dalam hal menakhlukkan orang hanya dengan tampangnya yang sok manis dan polos
itu. Menyebalkan.
“Baiklah.”
Dua puluh menit mereka
habiskan untuk mengobrol sembari menunggu Akbar yang masih memiliki kelas.
Hingga tiba ke menit tiga puluh, Akbar telah datang dengan mobil biru bermerk
avanza itu.
“Silakan masuk, akhwat
...,” ujar Akbar dibalik kemudi mobilnya. Aisha tersenyum lantas mengajak Nisa
untuk naik ke mobil suaminya itu.
“Mas, boleh aku duduk
dibelakang?” tanya Aisha yang lantas mendapat anggukan setuju dari Akbar. Ia
lantas duduk dibelakang bersama Nisa.
“Syukron.”
“Afwan, sayang.” Aisha
tersenyum malu. Ini kali pertama ada orang lain yang tau jika Akbar memanggilnya
dengan sebutan sayang.
“Ciee pengantin baru.
Jadi iri deh,” Nisa menimpali mereka dengan senyum tipis.
“Lalu kapan kau akan
menyusul, Nis?” tanya Akbar seraya menjalankan mobilnya.
“Dia calon saja belum
punya, Mas,” ujar Aisha yang langsung mendapat tatapan kesal dari sahabatnya
itu. Sedangkan si empu hanya meringis kecil.
Akbar mengangguk, “Apa
perlu aku carikan calon?” tanyanya pada Nisa. Gadis itu langsung menggeleng
cepat.
“Tidak usah, ...”
“Mas. Panggil Mas saja
jika kita diluar kampus,” potong Akbar yang mendapati Nisa bingung akan
memanggil Akbar dengan sebutan apa mengingat jabatan ia adalah seorang
dosennya.
“Iya, Mas,” ujar Nisa.
“Sepertinya kau masih
sungkan sama Mas Akbar, ya?” Aisha menimpali.
“Mungkin,” jawab Nisa
yang lantas menimbulkan gelak tawa oleh Aisha dan Akbar.
“Oh ya, ngomong-ngomong
nanti aku mengajak seseorang. Teman lama sih.”
“Siapa, Mas? Apa dia
datang saat pernikahan kita?” tanya Aisha.
“Dia teman satu pondok
dulu. Kami berpisah saat aku mendapat beasiswa ke Madinah. Almamater
universitas ini juga. Sekarang dia sudah bekerja disalah satu perusahaan.
Kemarin tak sempat datang ke pernikahan kita karena dia sedang tugas ke luar
kota,” jelas Akbar panjang lebar. “Dia juga sedang mencari calon istri.
Sepertinya kalian nanti bisa saling mengenal,” tambah Akbar lagi.
“Eh? Tidak usah, Mas,”
jawab Nisa malu.
“Ya kalau kalian cocok
bisa langsung khitbah, kalau engga ya temenan aja. Orangnya humoris kok. Alim
dan berjiwa pemimpin juga.”
“Tapi Nisa itu masih
menunggu seseorang,” ujar Aisha yang lagi-lagi mendapat tatapan kesal dari
Nisa.
“Sha.” Protes Nisa
ketika gadis itu akan membeberkan siapa orang yang masih ia sukai dan masih ia
tunggu hingga kini.
“Sudah. Tidak apa-apa,
Nis. Anggap saja Mas Akbar juga sebagai sahabatmu,” jawab Aisha sambil
tersenyum kecil. “Nisa itu sedang menunggu laki-laki tasbih biru.”
“Laki-laki tasbih
biru?” ulang Akbar tak mengerti.
“Ya. Dia mencintai
laki-laki saat pertama bertemu hanya karena tasbih biru yang tertinggal
dimasjid,” ujar Aisha menjelaskan. Oke, sekarang Nisa hanya bisa diam karena
semua telah terbongkar oleh mulut comel sahabatnya ini.
“Oh begitu. Lalu dimana
laki-laki tasbih biru itu?”
“Entahlah, katanya Nisa
tidak pernah melihatnya lagi dimasjid kampus. Menghilang tanpa jejak.”
“Ya kalau jodoh si
nanti bakal ketemu lagi kok. Kalau nggak jodoh ya cari yang lain.”
Obrolan berakhir sampai
disini karena mereka telah sampai ke tempat tujuan.
-Resto Barokah-
Akbar memarkirkan
mobilnya dipelataran Resto itu yang lumayan luas. Banyak mobil-mobil lain juga
yang telah memenuhi area pelataran ini. Resto Barokah memang terkenal dengan
ayam bakar dan sambel ijonya yang bikin ketagihan.
“Ayo,” ujar Akbar
lantas menggandeng tangan istrinya itu masuk. Sedangkan Nisa berdiri
disampingnya sambil mengikuti sepasang pengantin baru itu. Disudut Resto
terdapat seorang laki-laki yang masih asik melihat ikan mas koi dikolam samping
tempat duduknya. Ia bahkan tidak sadar akan Akbar yang sudah sampai dan menepuk
pundaknya sekali.
“Assalamualaikum.
Sepertinya masih sibuk melihat ikan koi? Ikan koi pun punya pasangan, lah ente
mana?” laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya. Memeluk Akbar lama sambil
menepuk bahunya berkali-kali.
“Wa’alaikumsalam Akbar.
Ahlan wa sahlan. Bagaimana kabarmu? Ah kau ini, mentang-mentang sudah punya
istri jadi meledekku,” ujar laki-laki itu masih memeluk Akbar.
“Makanya cari istri
dong, bro.” Mereka lantas melepas pelukan itu sambil melempar senyum senang.
Sudah lama sekali mereka tidak bertemu.
“Mana istrimu?”
“Nih.” Akbar merangkul
lengan istrinya itu mesra seraya tersenyum lebar, sedangkan Aisha hanya tersipu
malu sambil menunduk.
“Aisha,” kenalnya pada
teman Akbar itu.
“Yusuf,” laki-laki itu
juga memperkenalkan dirinya.
“Kenalkan. Ini Nisa,
sahabatnya Aisha.” Akbar menunjuk Nisa yang sedari tadi hanya diam dibelakang
mereka. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian juga ikut memperkenalkan diri.
“Nisa,” ujarnya sambil
menangkupkan kedua tangannya didepan dada. Gadis itu masih menunduk, belum
memperhatikan rupa teman Akbar itu.
“Bukankah kamu yang
kemarin dimasjid? Yang mewawancaraiku dan ....” Nisa mendongak dengan cepat.
Bodohnya ia tak memperhatikan sejak awal dan tak cepat mengenali suara yang
cukup familiar ditelinganya ini.
“Mas Yusuf,” Nisa masih
tidak percaya jika dia akan bertemu Yusuf disini. Dan yang lebih mengejutkan
lagi adalah bahwa Yusuf teman dari Akbar, suami Aisha.
“Aku tidak sangka
ternyata kamu sahabat dari istri sahabatku,” ujar Yusuf juga masih terkejut.
Aisha dan Akbar saling melempar pandang lantas tersenyum tipis.
“Jadi ini laki-laki
tasbih biru mu itu, Nis?” Aisha menyenggol lengan Nisa kecil, menggoda
sahabatnya itu.
“Apa gadis ini yang kau
ceritakan tempo lalu padaku? Gadis yang berhasil mencuri pandangmu saat
wawancara majalah Al-Mizaan?” Aisha dan Nisa menoleh terkejut, jadi Yusuf juga
menyimpan rasa pada Nisa?. “Sekarang kalian sudah dipertemukan dengan cara yang
tak terduga. Kami siap menjadi saksi untuk lanjut ke pelaminan,” ujar Akbar
lantas merangkul pundak istrinya itu seraya mengedipkan sebelah matanya.
“Ayolah Nis, katanya
kau ingin cepat-cepat menyusul kami?”
“Apaan sih kalian ....”
ujar Nisa dan Yusuf bersamaan yang lantas membuat gelak tawa dari Aisha dan
Akbar pecah.
“Nah kan? ngomong aja
sama-sama. Itu artinya kalian jodoh.” Akbar menggoda lagi.
“Jangan gitu lah .....”
lagi-lagi Aisha dan Akbar tertawa karena mereka menjawabnya bersama dengan
kalimat yang sama pula. Nisa lantas menyembunyikan wajahnya yang kini sudah
merona tak terkendali dengan menunduk, dan Yusuf membuang mukanya kesamping
menahan rasa malu juga.
“Ah ... sudah
jeas-jelas ini kalian memang berjodoh,” ujar Akbar sambil tersenyum
memperhatikan dua orang yang tengah malu-malu itu.
Surya hampir tenggelam.
Meninggalkan bias jingga disisi-sisi barat langit dengan segerombolan burung
emprit yang siap terbang menuju sarangnya masing-masing. Gema adzan terdengar
nyaring ditelinga, menyudahi obrolan saling menggoda ini lantas bersiap-siap
untuk bertemu sang kholik diatas sajadah.
-Takdir Dia memang
begitu indah dan mengejutkan. Jodoh itu perkara yang diatas, kau hanya perlu
selalu memperbaiki diri dan sabar menanti. Terkadang dia yang kita inginkan tak
menjadi jodoh. Dia yang tak kita duga menjadi jodoh. Dan atau mungkin dia yang
kita harapkan ternyata jodoh kita. Semua sudah diatur atas kuasaNya yang sungguh
apik.-
End
Bagikan
Antara Cinta dan Jodoh (Takdir) Part 11 END - Oleh CKH
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..