Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG)



Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG) 

Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG)


Semilir angin berembus ringan, daun-daun cemara berguguran diatas batako merah yang sedikit basah karena guyuran hujan tadi malam. Surya pun tak kunjung menampakkan dirinya meskipun jarum jam sudah berada diangka sepuluh.

Aini dan Dinda dengan riang berjalan menuju kantin sekolah. Hari ini benar-benar menyenangkan, bagaimana tidak? Karena hari ini untuk pertama kalinya Dinda memenangkan quiz dari Pak Boim.

“Aku nggak nyangka rasanya semenyenangkan ini, Ai. Aku akan mentraktirmu,” ujar Dinda masih dengan senyumnya yang mengembang.

“Oke, aku akan memesan mie ayam dan es jeruk.”

“Mie ayam, bakso, soto, nasi goreng, siomay, es jeruk, es teh, es susu, es sirup, semua juga boleh.” Aini menatap sahabatnya itu lama, seolah mengatakan ‘Benarkah? Memangnya kau punya uang sebanyak itu? Atau kau memacari mas-mas penjual dikantin?’ Mengerti arti tatapan dari Aini, Dinda pun hanya meringis kecil.

“Maksudku kau bisa pesan salah satu,” jawabnya tersenyum malu.

“Dasar kau ini. Baiklah, aku tau kantong pelajar kok. Lagipula itu lebih baik, aku kira kau pacaran sama Mas Slamet sampe bisa nawarin aku makan sebanyak itu,”

“Hey!! Aku lebih baik jomblo seumur hidup daripada harus pacaran sama Mas Slamet,” balas Dinda kesal setengah mati. Yang benar saja, ia dikira pacaran dengan penjual kantin yang bahkan giginya tak penuh itu alias ompong. Ditambah gigi paling depannya dilapisi emas. Bayangkan saja kalau sedang tersenyum, alamak itu giginya berasa langsung memancarkan sinar keemasan yang membuat semua wanita terpana.

“Jangan begitu Din, jodoh itu nggak ada yang tau. Semua rahasia yang diatas,”

“Aku tau. Kau juga jangan mulai. Selera makanku jadi menurun nih,”

“Oke, I’m Sorry Baby,” ujar Aini seraya merangkul pundak Dinda erat.

“Kebiasaan,” dengus Dinda namun selanjutnya ia tersenyum tipis.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal Pak Boim, aku jadi teringat sesuatu. Sesuatu yang udah lamaa banget.” Aini tersenyum penuh arti, hingga tanpa sadar menghentikan langkah kaki Dinda.

“Aini ya ...”

“Apa?” Aini tersenyum lagi.

“Plisss, jangan bahas itu lagi. Dan lupakanlah,” mohon Dinda mengerti apa yang dimaksud sahabatnya ini.

“Tapi aku nggak mau.”

“Ayolah, Ai. Kau merusak moment terbaikku. Barusaja kita berdamai, kau sudah merusakknya lagi.”

“Aku hanya nggak ingin kau berdosa karena nggak nepatin janji.”

“Aku nggak pernah berjanji.”

“Pertaruhan sama dengan janji dan janji sama dengan hutang. Kau tau artinya kan, sayang?” Dinda mendengus sebal mengetahui bahwa sahabatnya ini memang benar adanya.

“Kenapa nggak mengikhlaskannya saja sih? Jika begitu semua akan selesai dengan mudah. Kau tega melakukan hal ‘itu’ pada sahabat karibmu sendiri?” Aini mengangguk ringan sedangkan Dinda menggeleng tidak percaya.

“Aini, apa yang kamu lakukan ke aku itu, JAHAT!” ujar Dinda sangat kesal sembari menirukan gaya bicara Cinta difilm ‘Ada Apa Dengan Cinta 2’

“Ayo cepetan. Aku udah pasang volume paling tinggi nih, tinggal pencet lagu goyang dumang, lalu kau langsung joget. Aku akan menepi,” ujar Aini sambil memainkan ponselnya bersiap melancarkan pertaruhan jaman dulunya itu.

Dinda hanya menggelengkan kepala. Saat ini posisi mereka persis ditengah lapangan saat jam istirahat. Semua siswa berseliweran kesana kemari, ada juga yang duduk santai dibangku pinggir lapangan sembari mengobrol dan makan jajanan, ada yang sedang pacaran, ada yang mainan hp, ada juga yang asik melamun. Musik dinyalakan, semua mata tertuju pada Dinda yang sudah bersiap posisi. Dalam hati ia menyumpahi dirinya nggak akan pernah melakukan taruhan apapun lagi karena ternyata ini lebih buruk dan menakutkan dari yang dibayangkan.

“Mas Arif, kumohon jangan jangan ilfil padaku setelah ini. Aku hanya menunaikan sebuah janji,” ujar Dinda lirih sebelum memulai aksinya. Ia memejamkan mata erat, dan... Bug! Seseorang menjatuhkan tubuhnya pada tubuh Dinda. Memeluk gadis itu erat sekali.

“Sudah, pertaruhan ini sudah berakhir,” bisik suara itu yang tak lain adalah Aini.

“Maaf jika tadi membuatmu takut,” bisiknya lagi. Dinda masih diam, ia terlihat syok dengan pelukan Aini yang tiba-tiba.

“Tidak jadi?” tanya Dinda polos

“Sudah. Kau sudah melakukannya. Besok lagi jangan melakukan pertaruhan apapun yang konyol dan aneh itu. Bagaimana jika seandainya kau bertaruh dengan orang lain dan kalah? Aku nggak bisa ngebayangin kau joget goyang dumang dilapangan ini. Ah, dasar bodoh” Entah kenapa tiba-tiba airmata Dinda menetes begitu saja. Antara bahagia dan terharu. Mereka berdua memang bukan tipikal orang pengecut yang tidak melakukan sesuatu yang sudah disepakati. Dan hari ini mereka membuktikan itu.

“Thank You ...”

“For?”

“Everything” Aini tersenyum simpul sambil mengangguk. Ia merasakan tubuhnya sesak karena pelukan dari Dinda yang semakin erat. Mereka bahkan tidak memperdulikan tatapan siswa lain yang menganggap mereka aneh karena berpelukan ditengah lapangan saat jam istirahat.

“Sudah, lihatlah mereka menatap kita,” Aini melepas pelukan itu. “Kau menangis?” goda Aini sembari menatapi mata Dinda yang sembab.

“Tidak. Siapa juga yang menangis. Sudah, ayo kita kekelas saja,” Dinda berjalan lebih dulu menuju kelas.

“Katanya kau mau mentraktirku?”

“Tidak jadi. Selera makanku sudah hilang,”

“Hey! Tapi aku lapar”

“Din ...”

“Dinda ...”

“Aihhh. Menyebalkan.” Aini mendengus menyadari ia diabaikan oleh Dinda. Meski begitu ia tetap mengikuti Dinda dari belakang.

Kalian tau? hal yang paling berharga dalam hidup adalah sahabat. Dan aku bersyukur bisa memiliki seseorang seperti Dinda. Dinda, Kak Faris, dan Kak Dimas. Mereka seperti senja yang menawan hati. Indah, dan tak tergantikan oleh apapun_ Aini Az Zahra

END_

Oleh: Nina Fitriani

Bagikan

Jangan lewatkan

Senja dalam Setia “Pertaruhan Aini dan Dinda” (EPILOG)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..