Antara Cinta dan Jodoh (Penyesalan Arif) Part 9 - Oleh CKH



Antara Cinta dan Jodoh (Penyesalan Arif) Part 9

Aisha hanya tersenyum tipis melihat sahabatnya yang sedari tadi mengoceh kesana kemari. Ia tidak menyangkan respon Nisa akan membuat jam pulang kuliahnya tertunda hingga dua jam dari seharusnya hanya karena ia memberi kabar bahagia jika ia akan menikah minggu depan dengan Akbar.

“Aisha, aku tak menyangka jodohmu ‘Pangeran dari Madinah’ itu,” ujar Nisa dengan ekspresi masih tidak percaya. “Baru kemarin kita membicarakannya, minggu depan kau malah sudah akan menikah dengannya. Ah, aku iri,” ujar gadis itu sembari menyeruput ice nescafe kesukaannya sekali.

“Eh, tapi ngomong-ngomong kenapa kau tak menundanya satu tahun lagi. Bukannya tahun depan kita sudah wisuda?” tanya Nisa. Aisha hanya mendesah, memorinya kembali teringat akan percakapannya dengan sang Abah kemarin.

“Lebih cepat lebih baik. Kampus tidak akan mengeluarkanmu hanya karena ada ikatan,” jawab Aisha mengutip ucapan dari Abahnya. Nisa hanya tersenyum tipis lantas mengangguk.

“Lalu dengan S2 mu ke Madinah?”

“Entahlah, Nis. Kata Mas Akbar kampus itu belum menerima mahasiswa S2 yang S1 nya bukan dari sana. Lagipula aku tak mungkin melanjutkan kuliah setelah lulus. Abah tak akan setuju, apalagi sekarang Mas Akbar sudah bekerja disini,”

“Lalu?”

“Aku akan jadi istri dan ibu rumah tangga yang baik,” jawab Aisha tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nisa hanya mendengus kesal.

“Tidak ingin bekerja? Gelar sarjana dan nilai hampir ‘cum laude’ mu bakal sia-sia, Sha.”

“Sebelum ini aku juga sudah merenung dan banyak belajar. Sebenarnya pendidikan tinggi bagi seorang perempuan itu tujuan akhirnya tidak untuk menjadi seorang karyawati, namun menjadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya kelak. Awalnya aku sedikit tidak bisa menerima, tapi kalau dipikir lebih jauh lagi memang itu yang terbaik. Suami bekerja, istri merawat anak dirumah.”

“Wow, aku tak menyangka kau sudah sesiap ini.” Nisa hanya mangut-mangut sembari memberikan dua jempol pada sahabatnya itu.

“Lagipula kemarin Mas Akbar berjanji akan membawaku ke Madinah. Ke universitas almamaternya itu,” ujar Aisha masih dengan senyumnya yang mengembang.

“Benarkah? Kapan dia mengatakannya? Saat ta’aruf kemarin?”

“Tidak. Tapi setelah ta’aruf. Dia memberiku surat cinta,” lagi, Aisha menunduk, menyembunyikan semu merah dipipinya ketika mengingat surat yang diberikan oleh calon suaminya itu.

“Kau benar-benar beruntung, Sha. Lalu bagaimana dengan Arif?” senyum itu lantas menghilang dari bibir Aisha, ia melupakan Arif yang tempo lalu memintanya untuk menunggu sebentar lagi, namun nyatanya sekarang ia malah akan menikah dengan orang lain.

“Aku tidak tau,” ujar Aisha pasrah. “Besok aku akan kerumahnya, menyerahkan undangan pernikahanku sekaligus memberi tau nya secara langsung. Kau mau menemaniku?” tanya Aisha yang langsung mendapat anggukan dari Nisa.

***

Sekarang mereka sudah tiba didepan pintu rumah bewarna coklat itu, mengetuk sekali sambil mengucap salam, akhirnya pintu itu terbuka dengan menampakkan sosok gadis belia berkerudung biru.

“Kak Aisha, Kak Nisa,” sapa gadis itu sambil mencium tangan mereka.

“Kau sudah besar ternyata, Asfa,” ujar Aisha sambil tersenyum tipis memperhatikan adik dari Akbar ini.

“Iya. Kakak jarang kemari jadi tidak sadar jika aku sudah sebesar ini,” jawab Asfa dengan senyumnya yang manis. “Mau bertemu Mas Arif?” tanya gadis itu lagi yang disambut anggukan kecil oleh Aisha.

“Sebentar aku panggilkan, kakak duduk didalam saja,”

“Tidak usah, kami disini saja.”

Akhirnya selang beberapa menit laki-laki bertubuh tinggi itu sudah berada didepan Aisha. Membuat gadis itu tersenyum singkat lantas kembali menundukkan pandangannya.

“Assalamualaikum, Aisha, Nisa,” sapa Arif.

“Wa’alaikumsalam,” ujar mereka berdua.

“Sudah lama sekali aku tidak melihatmu, Sha,” ujar Arif pada Aisha sambil menatap gadis itu. “Sebenarnya besok aku akan kerumahmu,” tambahnya lagi masih diiringi dengan senyum lebar. Tatapan dari Arif seolah menunujukkan bahwa ada gejolak rindu yang menggebu pada Aisha disana.

“Aku kesini hanya untuk memberikan ini.” Aisha mengulurkan sebuah undangan bewarna merah muda itu didepan Arif. Sedangkan laki-laki itu memandangnya bingung.

“Siapa yang akan menikah? Kau akan menikah, Nis?” tanya Arif melirik Nisa yang langsung mendapat gelengan kecil dari gadis itu. “Lalu?” mata Arif membaca satu baris nama yang terpampang besar dibagian depan undangan merah muda itu. –Aisha dan Akbar-

“Tidak mungkin. Kau bercanda kan, Sha? Ini tidak lucu,” ujar Akbar masih tidak percaya. Aisha hanya menggeleng singkat.

“Sha, jangan bercanda. Ini tidak lucu!. Kau marah padaku karena tidak memberimu kabar lalu membuat lelucon ini?”

“Aisha! Jawab aku!” gadis itu masih diam sambil menunduk, matanya memanas, bibirnya juga kelu seperti ada sesuatu yang menahannya untuk tidak membuka suara. “Aku tidak menyangka kau mengkhianatiku. Bukankah aku menyuruhmu untuk menunggu sebentar lagi, Sha,”Arif tidak terima, ia merasa dikhianati sekaligus disakiti oleh gadis bernama Aisha itu. Suasana semakin mencekam, Arif masih tak dapat mengontrol emosinya hingga terlihat buku-buku jarinya memutih. Undangan itu benar-benar membuat dia frustasi setengah mati. Bahkan rasanya ingin bunuh diri. Melihat Aisha hanya diam tanpa menjelaskan apapun, akhirnya Nisa angkat bicara.

“Dia tak pernah mengkhianatimu, Rif. Dia selalu menunggumu dari dulu. Kau kemana ketika dia menunggumu tanpa kabar? Ketika sepanjang malam ia menangisimu karena terlalu merindukanmu? Kau kemana!!” tanya Nisa tidak sabaran. Ia kesal dengan sifat Arif yang kekanakan seperti ini.

“Aku kerja, Nis. Lagipula aku sudah mengiriminya surat untuk menungguku sebentar lagi. Tapi apa nyatanya? Ia malah memberiku undangan seperti ini!” ujar Arif keras masih tak dapat menyembunyikan nada kecewa dan marahnya.

“Kau pergi tanpa kabar, lalu datang lagi hanya dengan sebuah janji dalam surat. Kau pikir Aisha butuh itu? Kau pikir keluarganya hanya butuh itu? Jika kau serius, harusnya kau langsung datang, bukan hanya lewat surat, Muhamad Arif Hasan,” ujar Nisa dengan penuh penekanan pada setiap intonasi kalimatnya. “Kau juga seharusnya memberi kabar pada Aisha. Jangan menghilang seperti ditelan bumi!” tambahnya lagi. Kali ini Nisa benar-benar membentak laki-laki didepannya ini. Arif menunduk dalam, diam,  menyadari kesalahannya itu. Matanya memanas, tanpas bisa dikendalikan airmata meluncur begitu saja diwajah rupawan miliknya.

“Aku tidak menyangka kepergianku ini berakhir dengan undangan yang seharusnya tertulis namaku disamping namamu, Sha. Aku ...” Arif diam, seolah tak dapat melanjutkan kalimatnya lagi. Matanya bahkan sudah kabur karena tertutup oleh cairan bening yang sudah menetes banyak.

“Selama ini aku pergi tanpa kabar karena aku bekerja diluar kota, Sha. Siang malam aku juga menangis karena merindukanmu, aku selalu mengadu padaNya tentang rasaku yang terlalu dalam kepadamu. Kapan aku bisa segera memilikimu secara halal. Karena rasa ini selalu mengangguku setiap hari. Aku memutuskan untuk bekerja, mencari uang yang banyak, lantas mempersiapkan pernikahan untuk kita kelak. Aku pulang kerumah dan langsung melamarmu dengan jerih payahku ini, Aisha. Kau tau, aku sudah menyiapkan cincin, menyiapkan mahar yang mungkin tidak seberapa, aku sudah menyiapkan segalanya karena rencananya besok aku dan orang tuaku akan bertamu. Aku pikir kejutan ini akan membuatmu bahagia, tapi sekarang semuanya sudah terlambat,” bahu Aisha bergetar, ia tak dapat menyembunyikan perasaannya yang begitu kacau hari ini. Mendengar pernyataan Arif, tentang pernikahan, tentang Akbar, ia bingung dan entahlah, takdir benar-benar mempermainkannya.

“Aisha, kumohon, menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakanmu,” ujar Arif dengan lantang dan penuh harap. Gadis itu masih diam, sebenarnya didalam lubuk hatinya yang paling dalam, nama Arif masih terukir rapi disana. Namun kembali lagi, ia tak mungkin menyakiti Akbar yang sudah jelas-jelas lebih dulu mendatangi orang tuanya. Ia juga tak mungkin membuat Abahnya kecewa.

“Maaf, aku tidak bisa,” hanya itu yang keluar dari mulut Aisha.

“Aisha, kumohon.”

“Aku berdoa kau mendapatkan jodoh yang lebih baik dariku, Rif. Kau orang yang sangat baik, Insyallah kau juga akan mendapat jodoh yang baik pula.”

“Tapi akau hanya ingin kamu, Aisha,”

“Aku tidak diciptakan untuk memiliki tulang rusuk yang sama denganmu, Rif. Aku harap kau mengerti. Assalamualaikum,”  pamit Aisha mengakhir perdebatannya dengan Arif. Sepanjang perjalanan gadis itu menangis, ia mengingat ekspresi kesakitan dari Arif, bagaimana untuk pertama kalinya ia melihat pria itu menangis didepan matanya. Hatinya teramat sakit mengetahui alasan Arif pergi meninggalkannya tanpa kabar.

“Nis, apa yang harus aku lakukan?” tanya Aisha masih dengan tangan dan bibir yang bergetar akibat menangis.

“Ini yang dinamakan takdir, Sha. Takdir sudah memilihkanmu dengan Mas Akbar, insyallah, Arif akan bahagia tanpamu, nanti. Karena Allah adalah pengatur sebaik-baiknya skenario hidup seorang hambanya,” jawab Nisa bijak sambil memeluk sahabatnya itu erat. Memberinya kekuatan serta menenangkannya.



-Selama apapun kau menunggu, sekuat apapun kau setia, sekeras apapun kau mempertahankan, jika ia bukan jodohmu, ia akan pergi. Karena tulang rusuk seseorang tak akan pernah tertukar-


Bersambung

Bagikan

Jangan lewatkan

Antara Cinta dan Jodoh (Penyesalan Arif) Part 9 - Oleh CKH
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..