Antara
Cinta dan Jodoh (Halal) Part 10
Gadis itu menggunakan gamis putih panjang dengan
kerudung yang senada pula sampai siku tangannya. Terkesan sangat sederhana,
tanpa adat dan gaya. Kedua keluarga memang sepakat mengadakan walimah yang
sederhana, hanya mengundang sanak saudara, tetangga, dan teman-teman dekat.
Setelah mengucapkan ijab kabul dengan menggunakan
Bahasa Arab yang sangat fasih dan dalam satu tarikan nafas, akhirnya Akbar
secara resmi dan sah telah menjadi mahram dari Aisha. Laki-laki itu langsung
memboyong Aisha ke rumah baru mereka. Entahlah, kata Akbar ini sebagai hadiah
pernikahan.
“Mas, ini serius? Ini rumahnya Mas Akbar?” tanya
Aisha polos sembari mengamati sebuah rumah berukuran sedang itu dari depan
halaman.
Akbar hanya tersenyum kecil, menggandeng lengan
istrinya itu lantas membuka pintu dan masuk kedalam. Aisha menurut, namun
matanya masih mengisyaratkan kebingungan. Bingung karena ia berpikir Akbar baru
bekerja kemarin dan ia sudah bisa membeli rumah.
“Duduklah, sayang,” ujar Akbar lantas mendudukkan
Aisha diatas sofa kecil yang berada diruang tamu itu. Entah sejak kapan
panggilan mesra itu diucapkan oleh Akbar, yang jelas setelah akad, Akbar memang
berubah menjadi laki-laki manis nan romantis.
“Tapi, Mas.” Akbar menoleh lagi, “Baiklah, aku akan
menjelaskan semua kebingunganmu ini. Mau berjalan-jalan melihat rumah kita?”
tanya Akbar yang lantas mendapat anggukan setuju dari Aisha. Gadis itu bangkit,
berdiri disamping Akbar sembari menyimak segala ucapan yang keluar dari mulut
suaminya itu.
“Selain belajar, sebenarnya di Madinah aku bekerja
sampingan. Dan alhamdulillah, gajinya bisa berbentuk rumah seperti sekarang ini,”
ujar Akbar memulai pembicaraan.
“Bekerja apa?”
“Editor surat kabar.”
“Pakde tau?” tanya gadis itu yang lantas mendapat
anggukan kecil dari Akbar.
Mata Aisha tertarik pada sebuah ruang kecil
disamping ruang keluarga yang mirip dengan perpustakaan. Ia melangkah kesana,
diikuti pula oleh Akbar dibelakangnya.
Tangan gadis itu menyentuh beberapa buku yang sudah
tersusun rapi dirak yang mayoritas terisi oleh kitab-kitab. Ada kitab
Roudhotuth Tholibin wa ‘Umdatul Muftiyin karya Imam Nawawi, kitab Ar Risalah
karya Imam Syafi’i, dan masih banyak lagi. Mungkin itu kitab yang dipelajari
Akbar waktu kuliah di Madinah.
“Ini foto Mas Akbar saat di Madinah?” tanya Aisha
melihat satu bingkai foto berukuran sedang terpasang didinding dekat rak buku
itu.
Akbar segera menunjuk foto itu, “Ini namanya Ahmed
dan yang ini Aydin. Kalau Ahmed itu mahasiswa asal Sudan dan Aydin itu
mahasiswa asal Turki,” jelas Akbar memperkenalkan dua teman yang ada dalam
fotonya itu. Aisha hanya tersenyum mendengarnya.
“Kenapa tersenyum begitu?” tanya Akbar sambil
memandangi istrinya.
“Tidak,” Akbar memajukan wajahnya hingga jarak
beberapa senti saja dari muka Aisha. Memandang gadis itu intens yang sukses
membuat Aisha menunduk gugup.
Jemari Akbar menyentuh dagu Aisha lembut, “Ayo
katakan. Apa yang membuatmu tersenyum?”
Demi apapun, jantung Aisha kini sudah melorot. Skinship
pertamanya yang benar-benar memacu detak jantung diluar batas. Wajahnyapun kini
telah dihiasi rona merah.
“Itu, ehm ....” Aisha menelan ludahnya dengan susah
payah, “Afwan, Mas. Aku hanya merasa bahagia bisa menjadi pendamping hidupmu,”
jawab Aisha masih menunduk.
“Benarkah?” Akbar masih menelisik wajah ayu Aisha
yang terus saja menunduk. Ia tersenyum tipis. “Tapi kenapa aku merasa kau
berbohong, ya,” ucapan Akbar sukses membuat Aisha mendongak. “Kau tersenyum
karena wajah dan gaya rambutku yang culun, kan?” tebak Akbar.
Aisha segera menggeleng, “Bukan begitu, Mas. Afwan.
Aku, ....”
Cup! Satu kecupan dikening Aisha berhasil membungkam
gadis itu. “Itu foto saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah. Foto anak
usia delapan belas tahun yang tidak mengerti style karena yang ia tau hanya
mengaji dipondok,” jelas Akbar masih dengan senyum yang membingkai diwajahnya.
“Afwan, Mas.” Lagi, gadis itu masih sungkan, alasan
ia tersenyum memang karena melihat wajah suaminya itu yang menurutnya sangat
lucu.
“Tidak apa. Aku tau kok. Baik, sekarang apa kegiatan
yang akan kita lakukan malam ini?” tanya Akbar yang membuat Aisha lagi-lagi
gugup. Ia menundukkan pandangannya lagi, tidak tau harus menjawab apa. Akbar
yang menyadari tingkah Aisha seketika tersenyum kecil.
“Aku suka ketika kau gugup seperti ini. Terlihat
sangat manis dan menggemaskan,” ujar Akbar to the point yang sukses membuat
jantung Aisha berpacu lagi. “Sekarang duduklah, aku akan membuatkan teh hangat
untuk kita. Oh, sebelum itu sambil menungguku, kau juga bisa membaca novel yang
ada dibagian sana,” telunjuk Akbar mengarah kesamping rak kitab, disana sudah
penuh koleksi novel tebal-tebal karya penulis terkenal. “Tapi mungkin kau sudah
membaca semua,” tambahnya lagi.
Aisha bangkit, menghampiri rak yang dimaksud
suaminya itu. Ia menelisik satu persatu buku novel yang terpajang disana. Lebih
dari separuh ia telah membacanya, tapi ada satu novel yang membuat gadis itu
tersenyum.
“Itu baru aku beli kemarin di gramedia. Apa kau
suka?” tanya Akbar yang menyadari Aisha tertarik dengan novel itu.
“Sangat. Kemarin aku ingin membeli novel ini tapi
belum sempat. Abah selalu protes ketika aku lebih suka menghabiskan diri dengan
tumpukan buku novel daripada menemaninya ngopi sambil nonton tv,” ujar Aisha
jujur dan polos sambil tersenyum kecil mengingat abahnya.
“Dan sekarang kau bisa sepuasnya membaca novel. Tapi
jangan lupa kewajibanmu yang sebenarnya, hmm?” jemari Akbar mengusap puncak
kepala Aisha yang tertutup kerudung lembut. Seulas senyum terbingkai dibibir
laki-laki itu.
Kurang dari sepuluh menit, Akbar datang dengan dua
cangkir teh hangat. Pria itu menolak keras ketika Aisha berniat membantu untuk
menyajikannya. Gadis itu hanya disuruh duduk diam disofa sembari menunggu Akbar
selesai dengan kegiatannya.
“Teh hangat aroma melati spesial untuk istriku
tersayang,” Akbar memberikan secangkir teh itu pada Aisha dengan senyum lebar
yang sukses membuat gadis itu tersenyum malu-malu.
“Syukron, Mas,” jawab Aisha menerima uluran teh itu
dari tangan suaminya.
“Afwan, sayang,” lagi-lagi Aisha dibuat tersenyum
malu dengan panggilan sayang yang diutarakan Akbar padanya. Pria itu tau
bagaimana cara membuat istrinya itu jatuh cinta dan merasa bahagia serta nyaman
meskipun tanpa pengenalan lebih lanjut seperti pacaran yang dilakukan banyak
remaja dan manusia dewasa sekarang.
“Mas, boleh aku bertanya?” ujar Aisha seraya
menyeruput teh hangat buatan suaminya itu sekali. Akbar menoleh sekilas, lantas
mengangguk kecil. “Kenapa memilihku menjadi istrinya Mas Akbar?” pria itu
memandangi Aisha lama, hingga kemudian senyum tipis membingkai disudut
bibirnya.
“Karena kau adalah jodohku,” jawabnya.
“Jika aku bukan jodohnya Mas Akbar, kita tidak akan
sampai pernikahan, Mas,” sepertinya gadis itu tak puas dengan jawaban Akbar.
“Baik-baik,” Akbar menghela nafasnya, menaruh
cangkir teh keatas meja yang sebelumnya telah ia seruput beberapa kali. Ia
mengubah posisi duduknya menghadap Aisha, menatap manik mata istrinya itu dalam
hingga membuat sang empu kembali gugup, “Aku memilihmu karena hanya kau,
satu-satunya gadis yang aku inginkan didunia dan diakhirat nanti. Kaulah
bidadari pilihanNya untuk mendampingiku. Kaulah takdirku. Kaulah sosok yang
akan menjadi ibu bagi anak-anak kita. Dan mungkin, aku tak tau sebesar apa rasa
bahagiaku ini ketika aku sadar kau telah sah menjadi mahramku. Hanya aku dan
Allah yang tau bagaimana rasaku padamu, Aisha,” tutup Akbar. Pria itu lantas
menyentuh tangan sang istri, menggenggamnya erat. “Ayo, kita berpacaran. Aku
ingin bergandengan tangan seperti ini dimuka umum,” ajak Akbar tanpa malu
dengan senyum lebar hingga terlihat deretan giginya yang putih.
Aisha masih menunduk, ia tak dapat menyembunyikan
rasa bahagia serta kagum akan sosok Akbar didepannya ini. Pria alim dengan
segudang keistimewaan yang melekat dalam dirinya.
“Sayang, bagaimana?” ujar Akbar lagi yang mendapati
Aisha masih diam. Gadis itu dengan cepat langsung menjatuhkan dirinya dalam
tubuh Akbar. Memeluk pria itu erat hingga membuat Akbar terkejut namun sedetik
kemudian ia tersenyum tipis membalas pelukan dari istrinya itu.
“Syukron, Mas. Aku berjanji akan menjadi istri yang
selalu membuatmu bahagia,” ujarnya.
-Beginilah islam memuliakan perasaan seseorang. Bukan
dengan memacari, yang ketika bosan akan ditinggal lantas bergonta ganti dengan
yang lain. Islam itu suci, yang berani berpegang teguh pada komitmen diri meski
hanya beberapa kali pertemuan saja. Kau akan tau dimana rasa bahagia yang
sesungguhnya ketika mendapati dirimu melakukan banyak hal pertama bersama
mahrammu.-
Bersambung
Bagikan
Antara Cinta dan Jodoh (Halal) Part 10 - Oleh CKH
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..