Angin malam berhembus pelan, masuk melalui celah ventilasi kamar yang berada dilantai dua itu. Aini masih diam, dengan kedua tangan yang ia lipat diatas meja, sedang kepalanya ia taruh diatasnya. Hawa dingin yang menyentuh kulit gadis itu, seolah tak memberi pengaruh apapun. Ia masih saja betah, berada dimeja keramatnya. Ya, meja yang selalu ia gunakan setiap hari untuk belajar.
Mata Aini tanpa sengaja melihat dua buah amplop jingga
yang ia taruh diatas nakas samping tempat tidurnya. Ia bangkit, lantas
mengambil kedua amplop itu.
‘Kenapa aku lupa menanyakan soal surat ini,’
batinnya. Ia lantas segera mengambil ponsel, untuk menghubungi seseorang.
Assalamuailaikum,
Kak,
untuk kejadian tadi aku sungguh minta maaf. Jujur, aku begitu malu jika harus
bertemu atau berhubungan lagi dengan kakak. Kali ini aku ingin mengucapkan
terimakasih untuk surat yang kakak berikan kepadaku kemarin. Aku sudah
menerimanya. Terima kasih sekali lagi, Kak Dimas.
Aini segera menaruh ponselnya diatas meja. Hatinya
berdebar, bukan karena jatuh cinta, tapi karena takut apakah Kak Dimas akan
membalas pesannya atau tidak. Hingga lebih dari dua menit ponselnya belum juga
menunjukkan tanda-tanda ada pesan masuk.
Drrrtttt, ponselnya bergetar, Aini segera membuka
pesan yang diterima dari Dimas. Syukurlah, Kak Dimas masih mau membalas. Batin
Aini.
Wa’alaikumsalam,
Aku
sudah melupakan kejadian itu. Jangan merasa malu Ai, sekali lagi cinta itu
tidak bisa dipaksakan. Surat? Aku tidak pernah mengirim surat untukmu, Ai.
DEG! Lalu siapa jika bukan Kak Dimas? Atau
jangan-jangan??
***
“Bagaimana kencanmu dengan Kak Dimas kemarin?
Lancar? Apa kalian sudah pacaran?” tanya Dinda menyerocos saja.
“Belum juga duduk, sudah ditanya macam-macam,” ujar
Aini kesal. Ia meletakkan tasnya, lantas mengeluarkan buku fisika yang akan
digunakan pelajaran pertama ini. Malas untuk menanggapi pertanyaan dari
sahabatnya itu.
“Baiklah, sekarang kau sudah duduk. Ayo jawab.”
lagi, Dinda masih gigih untuk mendapat jawaban dari Aini. Gadis itu menoleh
sekilas.
“Tidak ada apapun. Kami hanya pergi ketoko buku, Kak
Dimas membelikanku buku, aku mentraktir ice cream, dan ...,” Aini diam, melirik
raut wajah Dinda yang tengah tersenyum-senyum sendiri.
“Dia menyatakan cinta padaku,” lanjut Aini.
“Nahhh, benarkan tebakanku.” Dinda tersenyum puas
“Aku tunggu kau selfie dengan Pak Boim” Ia tertawa, lantas mengibaskan
rambutnya ala model penggilingan. Gadis itu merasa dirinya sudah menang dalam
pertaruhan ini.
“Tapi aku menolaknya.”
“APA? JANGAN BERCANDA DEH.” Dinda seketika bangkit
dari duduknya, bahkan teman-teman sekelasnya kini tengah menatap dia bingung.
“Hey, nggak usah kenceng-kenceng,” ujar Aini lirih.
Ia menarik lengan Dinda untuk segera duduk.
“Aku nggak ngerti sama kamu, Ai. Apa karena kau
takut akan taruhan ini? Hhhh, ini gila. Aku nggak percaya.” Dinda benar-benar
frustasi. Ia kesal sekali dengan sahabatnya ini. Helloww, hanya dia
satu-satunya gadis bodoh yang berani menolak cowok seperti Kak Dimas. “Setelah
ini kita harus kedokter mata, sekalian psikiater juga.”
“Kau pikir aku gila apa.” Aini kesal. Dia lantas
mengeluarkan amplop jingga yang sengaja ia bawa.
“Yang aku tau ini dari Kak
Dimas, tapi ternyata bukan,” ujar Aini menyerahkan amplop tersebut pada Dinda. “Bacalah
dulu sebelum berkomentar,” tambahnya lagi. Dinda akhirnya membaca seperti yang
diperintah oleh Aini. Tidak lebih dari satu menit, ia lantas menatap sahabatnya
itu.
“Kenapa baru memberitahuku?” Dinda mendelik kesal.
“Maaf, aku menunggu waktu yang tepat,” balas Aini
disertai ringisan.
“Selain Kak Dimas, ada orang lain yang menyukaimu,”
ujar Dinda.
“Yang benar saja. Dia hanya mengagumiku,” Aini
mengelak.
“Hey! Disini tertulis ‘pangeran senja’ kau pasti tau
apa maknanya kan? Jika dia hanya mengagumimu, dia hanya akan menulis ‘pengagum
rahasia’ begitu,” jelas Dinda panjang lebar. Aini mengangguk, benar juga.
“Kenapa aku baru sadar, begitu mempesonanya diriku,”
Aini tertawa, hingga sebuah jitakan kecil meluncur pada keningnya.
“Dasar kau! Aku berharap ‘pangeran senjamu’ itu
Budi, kakak kelas kita yang wajahnya seperti sule itu. Hahahaha,” tawa Dinda
puas.
“Jahat sekali kau.”
“Salah sendiri menolak pangeran setampan Kak Dimas,”
ujar Dinda, ia lantas menjulurkan lidahnya pada Aini.
“Kira-kira surat ini dari siapa ya?” tanya Dinda.
“Kenapa malah menanyakannya padaku,” ujar Aini
kesal. Dinda hanya meringis.
“Kira-kira menurutmu siapa? Yang dekat denganmu
selain Kak Dimas. Atau orang yang mencurigakan. Begitu.” Aini terlihat berpikir,
selain Kak Dimas, yang dekat, yang mencurigakan ...
“Apa jangan-jangan dia?” ujar Aini lirih. Dinda
menoleh.
“Dia siapa?”
“Assalamuaikum warahmatullahi wabarokatuh.” tanpa
sadar, ternyata Pak Boim telah masuk kelas. Aini dan Dinda segera menyudahi
percakapan mereka. Aini tersenyum tipis, semoga firasatnya benar. Ujarnya dalam
hati.
Bersambung ...
Bagikan
Senja dalam Setia (Bagian 9)
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..