Senja dalam Setia (Bagian 9)

Senja dalam Setia (Bagian 9)

Angin malam berhembus pelan, masuk melalui celah ventilasi kamar yang berada dilantai dua itu. Aini masih diam, dengan kedua tangan yang ia lipat diatas meja, sedang kepalanya ia taruh diatasnya. Hawa dingin yang menyentuh kulit gadis itu, seolah tak memberi pengaruh apapun. Ia masih saja betah, berada dimeja keramatnya. Ya, meja yang selalu ia gunakan setiap hari untuk belajar.

Mata Aini tanpa sengaja melihat dua buah amplop jingga yang ia taruh diatas nakas samping tempat tidurnya. Ia bangkit, lantas mengambil kedua amplop itu.

‘Kenapa aku lupa menanyakan soal surat ini,’ batinnya. Ia lantas segera mengambil ponsel, untuk menghubungi seseorang.

Assalamuailaikum,

Kak, untuk kejadian tadi aku sungguh minta maaf. Jujur, aku begitu malu jika harus bertemu atau berhubungan lagi dengan kakak. Kali ini aku ingin mengucapkan terimakasih untuk surat yang kakak berikan kepadaku kemarin. Aku sudah menerimanya. Terima kasih sekali lagi, Kak Dimas.

Aini segera menaruh ponselnya diatas meja. Hatinya berdebar, bukan karena jatuh cinta, tapi karena takut apakah Kak Dimas akan membalas pesannya atau tidak. Hingga lebih dari dua menit ponselnya belum juga menunjukkan tanda-tanda ada pesan masuk.

Drrrtttt, ponselnya bergetar, Aini segera membuka pesan yang diterima dari Dimas. Syukurlah, Kak Dimas masih mau membalas. Batin Aini.

Wa’alaikumsalam, 

Aku sudah melupakan kejadian itu. Jangan merasa malu Ai, sekali lagi cinta itu tidak bisa dipaksakan. Surat? Aku tidak pernah mengirim surat untukmu, Ai.

DEG! Lalu siapa jika bukan Kak Dimas? Atau jangan-jangan??

***

“Bagaimana kencanmu dengan Kak Dimas kemarin? Lancar? Apa kalian sudah pacaran?” tanya Dinda menyerocos saja.

“Belum juga duduk, sudah ditanya macam-macam,” ujar Aini kesal. Ia meletakkan tasnya, lantas mengeluarkan buku fisika yang akan digunakan pelajaran pertama ini. Malas untuk menanggapi pertanyaan dari sahabatnya itu.

“Baiklah, sekarang kau sudah duduk. Ayo jawab.” lagi, Dinda masih gigih untuk mendapat jawaban dari Aini. Gadis itu menoleh sekilas.

“Tidak ada apapun. Kami hanya pergi ketoko buku, Kak Dimas membelikanku buku, aku mentraktir ice cream, dan ...,” Aini diam, melirik raut wajah Dinda yang tengah tersenyum-senyum sendiri.

“Dia menyatakan cinta padaku,” lanjut Aini.

“Nahhh, benarkan tebakanku.” Dinda tersenyum puas “Aku tunggu kau selfie dengan Pak Boim” Ia tertawa, lantas mengibaskan rambutnya ala model penggilingan. Gadis itu merasa dirinya sudah menang dalam pertaruhan ini.

“Tapi aku menolaknya.”

“APA? JANGAN BERCANDA DEH.” Dinda seketika bangkit dari duduknya, bahkan teman-teman sekelasnya kini tengah menatap dia bingung.

“Hey, nggak usah kenceng-kenceng,” ujar Aini lirih. Ia menarik lengan Dinda untuk segera duduk.
“Aku nggak ngerti sama kamu, Ai. Apa karena kau takut akan taruhan ini? Hhhh, ini gila. Aku nggak percaya.” Dinda benar-benar frustasi. Ia kesal sekali dengan sahabatnya ini. Helloww, hanya dia satu-satunya gadis bodoh yang berani menolak cowok seperti Kak Dimas. “Setelah ini kita harus kedokter mata, sekalian psikiater juga.”

“Kau pikir aku gila apa.” Aini kesal. Dia lantas mengeluarkan amplop jingga yang sengaja ia bawa. 

“Yang aku tau ini dari Kak Dimas, tapi ternyata bukan,” ujar Aini menyerahkan amplop tersebut pada Dinda. “Bacalah dulu sebelum berkomentar,” tambahnya lagi. Dinda akhirnya membaca seperti yang diperintah oleh Aini. Tidak lebih dari satu menit, ia lantas menatap sahabatnya itu.

“Kenapa baru memberitahuku?” Dinda mendelik kesal.

“Maaf, aku menunggu waktu yang tepat,” balas Aini disertai ringisan.

“Selain Kak Dimas, ada orang lain yang menyukaimu,” ujar Dinda.

“Yang benar saja. Dia hanya mengagumiku,” Aini mengelak.

“Hey! Disini tertulis ‘pangeran senja’ kau pasti tau apa maknanya kan? Jika dia hanya mengagumimu, dia hanya akan menulis ‘pengagum rahasia’ begitu,” jelas Dinda panjang lebar. Aini mengangguk, benar juga.

“Kenapa aku baru sadar, begitu mempesonanya diriku,” Aini tertawa, hingga sebuah jitakan kecil meluncur pada keningnya.

“Dasar kau! Aku berharap ‘pangeran senjamu’ itu Budi, kakak kelas kita yang wajahnya seperti sule itu. Hahahaha,” tawa Dinda puas.

“Jahat sekali kau.”

“Salah sendiri menolak pangeran setampan Kak Dimas,” ujar Dinda, ia lantas menjulurkan lidahnya pada Aini.

“Kira-kira surat ini dari siapa ya?” tanya Dinda.

“Kenapa malah menanyakannya padaku,” ujar Aini kesal. Dinda hanya meringis.

“Kira-kira menurutmu siapa? Yang dekat denganmu selain Kak Dimas. Atau orang yang mencurigakan. Begitu.” Aini terlihat berpikir, selain Kak Dimas, yang dekat, yang mencurigakan ...

“Apa jangan-jangan dia?” ujar Aini lirih. Dinda menoleh.

“Dia siapa?”

“Assalamuaikum warahmatullahi wabarokatuh.” tanpa sadar, ternyata Pak Boim telah masuk kelas. Aini dan Dinda segera menyudahi percakapan mereka. Aini tersenyum tipis, semoga firasatnya benar. Ujarnya dalam hati.

Bersambung ...

Bagikan

Jangan lewatkan

Senja dalam Setia (Bagian 9)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..