Senja dalam Setia (Bagian 8)

Senja dalam Setia (Bagian 8)

Dimas masih asyik melihat-lihat jajaran buku tentang pertanian yang ada disana. Mulai dari teknik bertani menggunakan metode hidroponik, metode tabulampot, metode vertikultur, atau metode aeroponik. Sebuah metode pertanian yang khusus diaplikasikan untuk lahan sempit didaerah perkotaan. Mungkin Dimas akan mengambil jurusan pertanian saat lulus nanti.

Sedangkan Aini, ia masih sibuk mencari novel yang menurutya bagus. Ia memang paling menyukai novel bergenre romantis dan sedih. Karena sifat dia yang cenderung penyanyang dan sedikit melankolis.

Senja dalam Setia. Novel tersebut berhasil menyita perhatian gadis itu. Novel dengan latar belakang warna orange, dengan suasana senja yang begitu menawan hati. Aini mengambilnya, ia lantas lebih dulu membaca kutipan pada cover belakang novel itu.

-Cinta itu bukan pilihan, tapi ketidaksengajaan. Itu bisa menjadi sakit, ketika kau memilih untuk berkorban demi cinta. Seperti matahari yang menenggelamkan dirinya untuk sang rembulan. Awalnya memang terlihat indah, tapi kau tidak pernah tau jika matahari mungkin tengah menangis dalam diamnya- Senja dalam Setia...

Aini tersenyum tipis, sepertinya novel ini cukup bagus untuk direkomendasikan. Batinnya.

“Mau membeli itu?” tanya Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri disamping Aini.

“Besok aku akan kesini lagi. Aku tidak membawa uang,” ujar Aini jujur. Gadis itu memang lupa membawa dompetnya. Tadi saat makan dikantinpun, ia ditrakir oleh Dinda.

“Coba, aku juga ingin membacanya. Sepertinya bagus.” Dimas mengambil novel tersebut dari tangan Aini. Sama seperti gadis itu, ia juga membaca pada cover belakang novel.

“Kau tau apa artinya ini?” tanya Dimas menunjuk kalimat terakhir yang tertulis dalam kutipan novel tersebut. Aini menggeleng.

“Matahari mencoba mengalah untuk sang rembulan, karena ia tau jika matahari tidak akan pernah bisa bersama bintang. Sebelum matahari tenggelam, akan terlihat senja yang begitu indah menurut banyak orang. Tapi mereka tidak pernah tau, jika matahari mungkin menangis dalam tenggelamnya,” jelas Dimas panjang lebar. Aini tersenyum, ternyata Kak Dimas puitis juga. Batinnya.

“Kakak suka membaca novel seperti itu juga?” tanya Aini.

“Tidak terlalu. Aku lebih suka membaca tentang pertanian. Atau hal-hal yang berhubungan dengan alam,” jawab Dimas yang mendapat anggukan kecil dari Aini.

“Kak Dimas pasti akan mengambil jurusan pertanian ya?” tebak Aini tatkala melihat buku-buku pertanian yang berada ditangan Dimas.

“Kau ini sok tau. Tapi memang benar kok,” jawabnya disertai dengan senyum tipis.

“Eh, kakak mau kemana? Novelnya jangan dibawa.” Aini mengikuti Dimas yang sudah berjalan menuju kasir. Gadis itu mengamati Dimas yang sudah membayar semua buku yang dibelinya termasuk novel itu.

“Ini untukmu. Besok tidak usah kembali lagi kesini,” ujar Dimas seraya menyerahkan novel tadi ketangan Aini.

“Nggak usah Kak. Aku kan jadi tidak enak,” jawab gadis itu sungkan.

“Nggak apa-apa kok. Lagipula aku sedang ada uang lebih. Terimalah, nanti aku bisa sakit hati kalo kamu tolak,” ujar Dimas disertai senyum kecil. Aini akhirnya menerima novel tersebut.

“Terima kasih, Kak,” ujarnya dengan senyuman.

“Ini nggak gratis lho. Kamu harus menemaniku makan ice cream. Oke?” Lagi-lagi Aini harus geleng-geleng kepala dengan sikap Dimas yang menurutnya aneh, suka memaksa, tapi baik.

“Baiklah. Kali ini aku yang bayar. Ehm, tapi pinjem uang kakak dulu. Soalnya aku nggak bawa dompet,” ujar Aini meringis malu “Aku akan menggantinya. Janji!” Ia bahkan mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Dimas.

“Iya deh. Aku percaya kok. Ayo,” mereka akhirnya berjalan menuju kedai penjual ice cream yang tidak jauh dari tempat mereka tadi. Aini memilih membeli ice cream rasa strawberry, sedangkan Dimas memilih ice cream rasa coklat. Mereka berdua lantas duduk dibangku yang tersedia disana, sambil melihat pemandangan orang-orang serta kendaraan yang berlalu lalang di depan mereka.

“Ai, aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” ujar Dimas disela makan ice cream mereka. Aini menoleh, siap mendengar apa yang akan dikatakan kakak kelasnya itu.

“Aku mungkin bukan cowok romantis seperti kebanyakan. Aku tidak suka membawa bunga mawar merah, coklat, kado, surat, atau membacakan puisi cinta, atau mungkin pantun, dan lainnya,” Tiba-tiba saja suara disekitar menjadi hening. Aini merasa sekelilingnya lenyap, jantungnya juga berdebar tidak karuan. Ada rasa takut yang menjalar dihati. Tidak, jangan katakan apapun. Batin Aini berteriak.

“Aku menyukaimu, Ai. Mau tidak kau menjadi pacarku.” Jederrr! Langit seperti dijatuhkan ke bumi. Dan menimpa Aini saat ini juga. Tebakannya benar, Dimas pasti akan mengatakan hal itu. Tangannya bergetar, tanpa sadar Aini menjatuhkan ice creamnya ketanah.

“Kau nggak apa-apa kan, Ai?” tanya Dimas ketika melihat ice cream Aini sudah melorot dari tangannya.

“Itu.. tapi sebelumnya..” Aini benar-benar kalut. Bibirnya seolah kelu, sulit untuk mengatakan sesuatu. “Maaf, Kak. Aku tidak bisa” ujarnya pada akhirnya. Ia menunduk.

“Ke..kenapa Ai?” tanya Dimas. Entah kenapa tiba-tiba suaranya menjadi terbata. Mungkin ia syok karena baru saja ditolak. “Apa ada orang lain yang kau sukai?” tambahnya lagi. Aini mengangguk kecil, namun kepalanya masih menunduk sedari tadi. Tidak berani utuk menatap Dimas.

“Sekali lagi aku minta maaf, Kak” ujar Aini tulus. Bukankah cinta memang tidak bisa dipaksakan? Dimas masih dalam diamnya. Ia bangkit, lantas membuang sisa ice cream yang tadi ia makan ke tong sampah yang berada lima langkah dari duduknya.

“Aku bisa mengerti, Ai. Dan aku juga tidak bisa memaksamu,” ujar Dimas bijaksana. Ini sudah keputusannya untuk menyatakan cinta kepada Aini, dan ini juga hasil yang ia dapatkan. Jadi, ia akan berusaha untuk menerimanya meskipun sakit.

“Sekali lagi aku sungguh minta maaf, Kak.” Aini masih merasa tidak enak hati telah menyakiti perasaan Dimas setelah semua yang terjadi hari ini. Dimas terlihat tersenyum tipis, tentu saja senyum yang dipaksakan.

“Nggak apa-apa. Ayo aku antar pulang. Ini sudah sore.”

“Tapi Kak,”

“Sudahlah, jangan merasa tidak enak. Lupakan kejadian ini. Kita akan tetap berteman kan?” Dimas tersenyum lagi yang membuat hati Aini semakin merasa bersalah. Ia benar-benar tidak tega. Ia merasa sangat jahat kepada Dimas. Tidak salah memang jika Dimas dipilih menjadi ketua OSIS disekolah. Dia sangat bijaksana, tenang meski sakit, dan tentu saja dia sangat baik hati.

“Maaf, dan terima kasih, Kak Dimas”

Bersambung ...

Bagikan

Jangan lewatkan

Senja dalam Setia (Bagian 8)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..