“Dari semua kejadian yang kau ceritakan padaku, Kak
Faris memang seseorang yang patut untuk dicurigai,” simpul Dinda. “Lalu apa
yang akan kau lakukan selanjutnya?”
“Entahlah, aku ..., oh ya hampir lupa. Din, anterin
aku ke kelasnya Kak Dimas.” Aini lantas bergegas memakai sepatunya.
“Ada apa? Kau berubah pikiran?” Dinda tersenyum
jahil.
“Aku mau membayar hutang. Cepatlah, jangan berpikir
yang macam-macam.” Aini menarik lengan Dinda untuk segera mengikutinya. Mereka
memang baru saja selesai melaksanakan sholat dzuhur di musolla sekolah.
“Semoga saja Kak Dimas masih di kelasnya,” ujar
Aini.
***
Kelas XII MIPA 1. Mereka berdua akhirnya sampai. Dan
beruntung, didalam hanya ada Dimas dan Faris yang terlihat sedang membereskan
buku dan alat tulis lain. Mungkin mereka baru saja selesai mengerjakan tugas.
“Ai, Din, ada apa kemari?” tanya Dimas pada mereka
berdua.
“Terima kasih untuk pinjamannya kemarin, Kak,” ujar
Aini lantas menyerahkan tiga lembar uang kepada Dimas.
“Terima kasih kembali.” Dimas menerima uangnya
lantas tersenyum tipis. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
“Ya sudah, kami akan ke musolla lebih dulu. Belum
sholat dhuhur,” ujar Dimas. Aini dan Dinda mengangguk.
“Aku tidak yakin itu Kak Faris. Lihatlah, dia sedari
tadi hanya diam dan tersenyum saja,” ujar Dinda tiba-tiba setelah Dimas dan
Faris meninggalkan kelas.
“Aku pikir juga begitu. Kenapa dia berbeda dengan
saat motornya mogok kemarin?”
“Atau mungkin karena disini ada Kak Dimas sehingga
Kak Faris cenderung tidak banyak bicara?”
“Aku tidak tau. Sudahlah, ayo pulang. Jangan
dipikirkan lagi,” ujar Aini. Ia lantas berjalan lebih dulu meninggalkan kelas.
“Ai, aku belum menanyakan kenapa kau menolak Kak
Dimas. Apa ada orang lain yang kau sukai? Kenapa tidak memberitahuku?” tanya
Dinda yang kini sudah berada disamping Aini.
“Itu rahasia.” Aini menjulurkan lidahnya. “Jangan
lupakan dengan pertaruhan kita kemarin. Ingat! Ini sudah terikat perjanjian.
Kau akan berdosa jika mengingkarinya.” Dinda langsung diam, padahal ia sudah
berharap Aini akan melupakan pertaruhan konyol dan gila itu.
“Ai, ayolah. Lupakan masalah taruhan ini. Ya? Ya?”
Rayu Dinda dengan wajah yang dibuat se’ngenes’ mungkin.
“Aku tidak mau,” ujar Aini masih dengan senyum yang
mengembang.
“Ayolah, Ai. Tega kah kau akan mempermalukan sahabat
sebaik dan secantik aku? Nanti bagaimana jika aku menjadi trending topic
diseluruh sekolah? Nanti bagaimana jika para cowok-cowok disini menjadi ilfil
padaku? Ah, bisa-bisa aku akan menjadi jomblo sampe lulus.”Aini tertawa melihat
sahabatnya yang sedang merajuk itu. Masih tetap berjalan, ia mengacuhkan Dinda
yang sedari tadi menempelinya seperti cicak.
Bersambung ...
Bagikan
Senja dalam Setia (Bagian 10)
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..