Waktu telah bergulir hingga mata pelajaran terakhir, tapi sejak awal Aini terus saja tidak berkonsentrasi. Pikirannya tersita oleh banyak hal, tentang surat, tentang Kak Faris, tentang Kak Dimas, terlebih tadi pagi Kak Dimas mengiriminya pesan untuk pulang bersama. Haruskah menolak lagi atau menerimanya? Jika dipikir, jahat juga kalau terus-terusan menolak ajakan dari Kak Dimas.
“Ai, kau sakit? Sejak awal aku perhatikan kau
terlihat lesu,” tanya Dinda yang segera menempelkan telapak tangannya pada
kening Aini. Gadis itu hanya menggeleng kecil lantas tersenyum.
“Aku hanya sedang banyak pikiran,” ujarnya
“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya
Dinda lagi, ia khawatir.
“Tidak. Eh, nanti kau pulang sendiri ya. Aku akan
diantar Kak Dimas.”
“Benarkah? Bagus deh kalo gitu. Akhirnya kau luluh
juga, Ai.” Dinda tersenyum lebar “Tidak sia-sia usahaku selama ini. Aku tunggu
kau selfie dengan Pak Boim, ya,” ujar Dinda kemudian. Ia bahkan menutup mulutnya
karena menahan tawa. Aini hanya mempoutkan bibir kesal.
“Pulang bareng bukan berarti kami jadian. Jadi
jangan senang dulu, DinDong.” Aini menjulurkan lidahnya sembari tersenyum.
“Aini! Dinda! Siapa yang mengijinkan kalian
mengobrol begitu!” tegur Pak Harjo, guru kimia mereka yang juga killer seperti
Pak Boim.
“Maaf Pak, kami tidak akan mengulanginya lagi,” ujar
Aini dan Dinda bersamaan. Mereka kemudian segera mengambil pulpen dan menyalin
tulisan yang ada di white board.
***
Disana sudah terlihat Dimas sedang menunggu Aini
didepan pos satpam sekolah. Ia melambaikan tangannya ketika melihat kedatangan
Aini dari jarak lima meter.
“Ayo naik,” ujar Dimas to the point. Aini mengangguk lantas menuruti perintah dari Dimas.
Meskipun pada awalnya ia begitu risih karena pandangan siswa-siswi lain
terhadapnya, tapi kemudian ia mengabaikan. Toh, mereka juga tidak ada apa-apa.
“Kakak sudah menunggu lama?” tanya Aini sebelum
Dimas menyalakan mesin motornya.
“Tidak juga,” balas Dimas. Ia lantas melajukan
kendaraannya. Meninggalkan halaman sekolah.
“Ai, bagaimana jika kita mampir
makan dulu?” ajak Dimas.
“Apa? Maaf aku tidak dengar, Kak.” Aini memajukan
kepalanya kearah Dimas. Suara kendaraan yang cukup padat dan bising berhasil
mengganggu pendengaran Aini.
“Bagaimana jika kita mampir makan lebih dulu?” ulang
Dimas lagi dengan suara yang lebih keras.
“Ohh. Tapi aku baru saja makan, Kak. Dinda mengajakku
ke kantin tadi. Maaf,” balas gadis itu apa adanya.
“Yasudah, temani aku ke toko buku saja. Gimana?” tanya Dimas lagi. Aini terlihat diam, hingga beberapa detik kemudian ia
membalasnya.
“Boleh,” jawab gadis itu. Bola mata Aini tanpa
sengaja menangkap kaca spion kanan motor Dimas. Sebuah cekungan tipis tercipta
pada bibir tipis cowok itu.
Bersambung ...
Bagikan
Senja dalam Setia (Bagian 7)
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..