“Kak Dimas, Kak Faris,” balas Aini dan juga Dinda. Ya meskipun tadi Kak Dimas tidak menyapa Dinda.
“Darimana? Perpus ya?” tanya Dimas pada keduanya.
Mereka hanya mengangguk kecil.
“Oh. Yasudah kami permisi dulu. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“Ciee.. aku yang disampingmu saja tidak disapa sama
sekali. Tapi kau? Aku tidak bohong kan? Kak Dimas pasti menyukaimu. Aku berani
bertaruh,” ujar Dinda
“Apaan sih, Din.”
“Kau berani bertaruh tidak? Jika kau benar-benar
jadian sama Kak Dimas, kau harus selfie dengan Pak Boim,” tantang Dinda. Aini
mendelik tidak senang.
“Jangan bercanda deh,”
“Wah berarti kau memang menyukainya,” goda Dinda
lagi.
“Tidak sama sekali,”
“Lalu kenapa kau menolak tantangan ini?
“Kau mau membunuhku secara perlahan,?” balas Aini
sarkastik
“Ayolah Ai, reaksimu terlalu berlebihan. Apa si yang
nggak bakal Pak Boim turuti untuk siswi kesayangannya itu.” Dinda mengerjapkan
matanya persis seperti bocah.
“Kenapa kau ngotot sekali sih. Aku nggak mau.
Titik.”
“Berarti sudah bisa dipastikan jika kau menyukai Kak
Dimas.” Aini menoleh jengah, sahabatnya ini tidak akan berhenti mengoceh sampai
ia mengatakan –ya-
“Baik. Tapi jika itu tidak terjadi, kau mau apa?”
“Ehm.. Aku akan goyang dumang dilapangan basket saat
istirahat,” ujar Dinda pede. Aini tertawa sambil membayangkan bagaimana nanti
sahabatnya akan melakukan tindakan yang super konyol ini. Pasti akan memalukan
seumur hidup.
“Eittsss. Jangan tertawa dulu. Aku malah memiliki
firasat aku yang akan menang. Dan kau harus menerima tantangan ini dengan jiwa
dan hati yang ikhlas. Bayangkan saja Pak Boim yang dikenal anti kamera ini tiba-tiba selfie denganmu. OMG.. ini akan jadi
berita terpopuler seantero sekolah."
“Itu tidak
akan terjadi DinDong sayang. Dan kau, ini akan jadi pengalaman memalukan seumur
hidup,” ujar Aini mengedipkan sebelah matanya lantas berjalan lebih dulu
meninggalkan Dinda yang masih dibelakang.
“Oke, kita tunggu saja nanti,” balasnya tidak mau
kalah.
***
Siswa dan siswi saling berhamburan keluar kelas tak
terkecuali dengan Aini dan Dinda yang kini tengah jalan berdua. Mereka sesekali
tertawa kecil menanggapi obrolan masing-masing.
“Din, dijemput atau naik angkot?” tanya Aini ketika
mereka telah sampai didepan gerbang sekolah.
“Naik angkot.”
“Aku akan menemanimu,” ujarnya seraya tersenyum. Aini
ikut tersenyum kecil lantas mengapit lengan sahabatnya itu erat.
“Baiklah DinDong ku ...”
“Sudah aku katakan jangan panggil DinDong.
Menyebalkan.” Aini hanya tertawa mendengar ucapan kesal dari Dinda.
“Aini, Dinda.” Dimas, dengan motor ninja nya kini
sudah berada disamping kedua sahabat itu. Kali ini ia menyapa keduanya.
“Kak Dimas,” ujar mereka berdua bersamaan.
“Kakak tidak bareng sama Kak Faris?” tanya Dinda
“Faris pulang lebih dulu. Oh ya, kalian pulang naik
angkot?”
“Iya Kak”
“Tidak, aku akan dijemput,” ujar Dinda yang membuat
Aini seketika menoleh bingung.
“Bukankah kita pulang naik angkot bareng?” tanya
Aini tidak mengerti.
“Aku harus memberi kalian kesempatan untuk berdua,” bisik Dinda pada telinga Aini. Ia lantas pergi lebih dulu meninggalkan mereka
dengan senyum yang mengembang puas. Dia sangat tau, pasti sekarang Aini tengah
kesal setengah mati padanya. Sekarang hanya ada mereka berdua, gadis itu merasa
kaku dan bingung harus memulai obrolan darimana. Sejak tadi Dimas masih duduk
dimotornya.
“Ai, aku boleh minta nomor ponselmu?” Dimas menyagak
motornya lantas berdiri persis disamping Aini. Ia juga sudah mengeluarkan benda
tipis persegi panjang miliknya.
“Ehm.. itu untuk apa? Bukankah kita tidak satu
organisasi?” pertanyaan bodoh dan aneh yang keluar dari mulut Aini. Dimas
terlihat tersenyum kecil menyadari ketidaknyamanan Aini sekarang. Ya, dijam
seperti ini anak-anak sangat ramai menunggu jemputan atau angkot digerbang
sekolah. Dan banyak mata yang memandang mereka, ada juga yang berbisik-bisik
sembari melihat mereka, mungkin yang mereka tau Kak Dimas yang tajir dan
terkenal dengan kata ‘single’ nya tiba-tiba dekat dengan seorang gadis yang tak
lain adalah Aini menjadi alasan utama pandangan-pandangan itu.
“Aku hanya ingin lebih dekat lagi denganmu,” ujar
Dimas masih dengan senyumnya. Aini terdiam, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih
kencang dari sebelumnya.
‘Apa Kak Dimas menyukaiku?’ batin Aini
Bersambung ... > Senja dalam Setia Bagian 3
Bagikan
Senja dalam Setia (Bagian 2)
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..