Senja dalam Setia (Bagian 2)


Senja dalam Setia (Bagian 2)

“Kak Dimas, Kak Faris,” balas Aini dan juga Dinda. Ya meskipun tadi Kak Dimas tidak menyapa Dinda.

“Darimana? Perpus ya?” tanya Dimas pada keduanya. Mereka hanya mengangguk kecil.

“Oh. Yasudah kami permisi dulu. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

“Ciee.. aku yang disampingmu saja tidak disapa sama sekali. Tapi kau? Aku tidak bohong kan? Kak Dimas pasti menyukaimu. Aku berani bertaruh,” ujar Dinda

“Apaan sih, Din.”

“Kau berani bertaruh tidak? Jika kau benar-benar jadian sama Kak Dimas, kau harus selfie dengan Pak Boim,” tantang Dinda. Aini mendelik tidak senang.

“Jangan bercanda deh,”

“Wah berarti kau memang menyukainya,” goda Dinda lagi.

“Tidak sama sekali,”

“Lalu kenapa kau menolak tantangan ini?

“Kau mau membunuhku secara perlahan,?” balas Aini sarkastik

“Ayolah Ai, reaksimu terlalu berlebihan. Apa si yang nggak bakal Pak Boim turuti untuk siswi kesayangannya itu.” Dinda mengerjapkan matanya persis seperti bocah.

“Kenapa kau ngotot sekali sih. Aku nggak mau. Titik.”

“Berarti sudah bisa dipastikan jika kau menyukai Kak Dimas.” Aini menoleh jengah, sahabatnya ini tidak akan berhenti mengoceh sampai ia mengatakan –ya-­

“Baik. Tapi jika itu tidak terjadi, kau mau apa?” 

“Ehm.. Aku akan goyang dumang dilapangan basket saat istirahat,” ujar Dinda pede. Aini tertawa sambil membayangkan bagaimana nanti sahabatnya akan melakukan tindakan yang super konyol ini. Pasti akan memalukan seumur hidup.

“Eittsss. Jangan tertawa dulu. Aku malah memiliki firasat aku yang akan menang. Dan kau harus menerima tantangan ini dengan jiwa dan hati yang ikhlas. Bayangkan saja Pak Boim yang dikenal anti kamera ini tiba-tiba selfie denganmu. OMG.. ini akan jadi berita terpopuler seantero sekolah."

 “Itu tidak akan terjadi DinDong sayang. Dan kau, ini akan jadi pengalaman memalukan seumur hidup,” ujar Aini mengedipkan sebelah matanya lantas berjalan lebih dulu meninggalkan Dinda yang masih dibelakang.

“Oke, kita tunggu saja nanti,” balasnya tidak mau kalah.

***

Siswa dan siswi saling berhamburan keluar kelas tak terkecuali dengan Aini dan Dinda yang kini tengah jalan berdua. Mereka sesekali tertawa kecil menanggapi obrolan masing-masing.

“Din, dijemput atau naik angkot?” tanya Aini ketika mereka telah sampai didepan gerbang sekolah.

“Naik angkot.”

“Aku akan menemanimu,” ujarnya seraya tersenyum. Aini ikut tersenyum kecil lantas mengapit lengan sahabatnya itu erat.

“Baiklah DinDong ku ...”

“Sudah aku katakan jangan panggil DinDong. Menyebalkan.” Aini hanya tertawa mendengar ucapan kesal dari Dinda.

“Aini, Dinda.” Dimas, dengan motor ninja nya kini sudah berada disamping kedua sahabat itu. Kali ini ia menyapa keduanya.

“Kak Dimas,” ujar mereka berdua bersamaan.

“Kakak tidak bareng sama Kak Faris?” tanya Dinda

“Faris pulang lebih dulu. Oh ya, kalian pulang naik angkot?”

“Iya Kak”

“Tidak, aku akan dijemput,” ujar Dinda yang membuat Aini seketika menoleh bingung.

“Bukankah kita pulang naik angkot bareng?” tanya Aini tidak mengerti.

“Aku harus memberi kalian kesempatan untuk berdua,” bisik Dinda pada telinga Aini. Ia lantas pergi lebih dulu meninggalkan mereka dengan senyum yang mengembang puas. Dia sangat tau, pasti sekarang Aini tengah kesal setengah mati padanya. Sekarang hanya ada mereka berdua, gadis itu merasa kaku dan bingung harus memulai obrolan darimana. Sejak tadi Dimas masih duduk dimotornya.

“Ai, aku boleh minta nomor ponselmu?” Dimas menyagak motornya lantas berdiri persis disamping Aini. Ia juga sudah mengeluarkan benda tipis persegi panjang miliknya.

“Ehm.. itu untuk apa? Bukankah kita tidak satu organisasi?” pertanyaan bodoh dan aneh yang keluar dari mulut Aini. Dimas terlihat tersenyum kecil menyadari ketidaknyamanan Aini sekarang. Ya, dijam seperti ini anak-anak sangat ramai menunggu jemputan atau angkot digerbang sekolah. Dan banyak mata yang memandang mereka, ada juga yang berbisik-bisik sembari melihat mereka, mungkin yang mereka tau Kak Dimas yang tajir dan terkenal dengan kata ‘single’ nya tiba-tiba dekat dengan seorang gadis yang tak lain adalah Aini menjadi alasan utama pandangan-pandangan itu.

“Aku hanya ingin lebih dekat lagi denganmu,” ujar Dimas masih dengan senyumnya. Aini terdiam, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

‘Apa Kak Dimas menyukaiku?’ batin Aini

Bersambung ... > Senja dalam Setia Bagian 3

Bagikan

Jangan lewatkan

Senja dalam Setia (Bagian 2)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..