Mahar Cinta (Bagian 5)



Mahar Cinta (Bagian 5)

Mahar Cinta (Bagian 5)

Semilir angin sore menyentuh permukaan kulit wajahku. Hingga mengibarkan sedikit jilbab panjang yang kini kukenakan. Padang rumput hijau dengan sungai kecil jernih berada dalam jangkau pandangku. Aliran airnya yang khas, dengan gemericik kerikil yang sengaja aku lempar ke dalam menambah kesan alami dan menenangkan. Sudah lama sekali rasanya aku tak berkunjung kesini. Pemandangannya belum berubah, masih asri dan menawan tentu saja. Tempat yang selalu aku kunjungi dulu ketika aku memiliki beban masalah yang mengganggu batin, sama seperti sekarang. Di perantauan sana, sulit sekali menemukan tempat seperti ini. Tanah kelahiranku.

Mbak, disuruh pulang ibu. Sudah sore.” Hafidz, adikku kini sudah berada disamping, berjongkok mensejajarkan tubuhnya pada tubuhku. Aku tersenyum tipis.

“Iya, dek,” jawabku lantas berdiri. Aku mengamit lengan adikku yang masih berumur sepuluh tahun itu dan berjalan bersama.

Mbak, aku seneng kalo mbak Ara terus disini. nanti aku ada yang diajak main. Aku ndak suka sama Mas, Mas Faris itu nakal,” ujar adikku polos.

“Kan mbak Ara sudah disini sekarang,” jawabku tersenyum kecil. Aku mengelus puncak kepala adikku gemas. Ini adalah salah satu hal berat yang harus aku tinggalkan tatkala memutuskan untuk merantau ditanah pendidikan dikota.

“Sekarang masih disini, besok pasti sudah pergi lagi,” Hafidz memanyunkan bibir mungilnya, kesal.

Mbak kan sekolah. Nanti kalau adik sudah besar, pasti akan seperti mbak. Bisa lihat gedung-gedung besar seperti ditv, terus bisa lihat air mancur besar juga, terus...”

“Kalau pesawat terbang?” tanya Hafidz antusias. Aku tersenyum kecil lantas mengangguk. “Yey! Nanti aku pingin kaya mbak aja. Bisa lihat pesawat terbang,”

“Tapi harus belajar yang pinter ya. Jangan nakal.”

“Aku nggak nakal. Yang nakal mas Faris,”

“Ya sudah, nanti mbak bilang sama mas Faris jangan nakal lagi sama adik. Oke?” Hafidz terlihat tersenyum lebar. Ia menggenggam tanganku lebih erat, mengayun-ayunkan kaki gembira.

Rasanya beban hatiku kini berkurang sudah setelah melihat senyum polos serta bahagia dari Hafidz, adikku. Pikiran tentang Ferry kini juga mulai sedikit terkikis. Ini sudah hampir lima bulan semenjak kejadian dimasjid itu, semenjak Ferry memutuskan untuk menjadi seorang mualaf. Dan selama itu, dia jarang mengobrol banyak denganku, dia lebih sering menghabiskan harinya dimasjid kampus, mempelajari islam pada mahasiswa lain, mengikuti kajian-kajian islami rohis kampus, dan lainnya.

Liburan ujian semester ini benar-benar hari yang aku nantikan, karena dengan ini aku bisa sedikit membebaskan cintaku, cintaku pada Ferry yang kini sudah masuk kedalam hati. Cinta yang selalu aku takutkan. Ya, aku takut akan terlupa kepada Nya. Jujur, sholatku menjadi tidak khusyuk karena sering memikirkan Ferry. Allah, jika ini adalah cinta atas kehendakmu, maka jangan jadikan aku budak yang dapat terpedaya oleh cinta. Ingatkan aku selalu, bahwa Engkau lah sang pemilik cinta yang hakiki.

Bagikan

Jangan lewatkan

Mahar Cinta (Bagian 5)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

2 comments

Tulis comments
avatar
12 January 2016 at 05:21

oh belum dilamar toh
yah padahal nunggu2 nih

Reply
avatar
12 January 2016 at 14:26

Lalu kelanjutannya gimana?

Apa ia bakal menjadi sosok imam yang baik?

Reply

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..