Mahar Cinta (Bagian 4)



Mahar Cinta (Bagian 4)

 

Mahar Cinta (Bagian 4)


Suasana masjid yang cukup besar itu kini terkesan hening dan sunyi. Hanya dapat terdengar suara gesekan angin dengan jendela kayu yang menggema digendang telinga. Disini, tepat dishaf pertama, aku duduk dibelakang murabbi sekaligus dosen kami, Ustadz Salman. Aku menautkan kedua tangan diatas pangkuan, dingin. Tiba-tiba saja jantungku berdebar tidak karuan menyaksikan Ferry yang kini sudah memakai baju muslim putih dengan peci yang senada juga diatas kepalanya. Ia terlihat begitu tampan, astaugfirullah, kenapa aku tidak bisa menjaga pandanganku. Dia lalu memberikan senyum tipisnya padaku.

“Baiklah, kita mulai sekarang.” ustadz Salman memulai bicaranya. Aku melihat Ferry membenarkan letak duduknya sekali lagi. Ia lantas menghirup nafas panjang, menghembuskannya pelan. Mungkin untuk mengurangi rasa groginya yang muncul.

“Jangan grogi, biasa saja,” ustadz Salman terlihat memberi semangat pada Ferry. Pria itu meringis kecil.

“Iya ustadz,” ujarnya.

“Bismillahirrahman nirrakhim. Asyhadu an La Ilaha Illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” ustadz Salman mulai menuntun Faris sedikit demi sedikit. Pria itu mengamati sembari menirukan.

“Bismillah.... hirrahman.... nirrakhim” Ferry berhenti sejenak, ia mengambil nafas. “ Asyhadu an ... La ... Ilaha ... Illa ... Allah. wa Asyhadu anna ... Muhammadar ... Rasulullah.” Ia berhenti, ustadz Salman tersenyum tipis.

“Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Allah.” lagi, ustadz Salman masih menuntun Ferry.

“Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Allah.” Ferry mengucapkan kalimat terakhir itu dengan lancar. Ia terlihat menghela nafas panjang, lantas tersenyum sangat lebar. Ustadz Salman memberi pelukan kecil pada Ferry, ia juga menepuk pundaknya pelan.

“Sekarang kau telah menjadi seorang mualaf. Sesungguhnya Allah telah menghapus semua dosamu dimasa lalu sebagaimana bayi yang baru lahir ke dunia.”

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (ketetapan Allah) terhadap orang-orang dahulu. Q.S. Al-Anfaal 8: 38” ustadz Salman tersenyum setelah mengatakan kalimat tadi.

“Apa yang membuatmu ingin menjadi seorang mualaf?” tanya ustadz Salman. Ferry langsung melirikku, aku hanya menunduk.

“Sebenarnya ada seseorang yang membuatku memutuskan untuk memilih jalan ini. Seseorang yang begitu aku kagumi sekaligus aku cintai,” DEG! Jantungku berdebar, rasanya kupu-kupu kini tengah berterbangan didalam hatiku sana. Fatimah menyenggol bahuku kecil sembari tersenyum.

“Siapa gadis istimewa itu? Dia pasti seseorang yang hebat hingga membuatmu seperti ini,”

“Zahra ... Zahra Assyifa” ujar Ferry mantab. Ustadz Salman terlihat memandangku, ia tersenyum kecil dan akupun membalas senyumnya.

“Allah telah menjadikanmu perantara hidayah untuk Ferry. Semoga Allah selalu melindungi kalian.”

“Amin. Ustadz, bagaimana jika aku ingin menikahi Zahra?” pertanyaan Ferry yang diluar dugaan itupun muncul. Aku tanpa sadar langsung menatapnya terkejut. Ustadz Salman kembali tersenyum.

“Alhamdulillah. Menikah adalah ibadah. Datangi orang tuanya. Mintalah Zahra pada orang tuanya.” Jawab Ustadz Salman. Ferry tersenyum.

“Apa ini tidak terlalu mendadak? Aku hanyalah seorang mualaf yang belum mengerti Islam, sedangkan Zahra, ia perempuan sholehah yang pasti diidamkan banyak laki-laki diluar sana.”

“Kalian bisa saling mengajari satu sama lain. Pernikahan itu untuk penyempurnaan agama. Dan lagipula, jodoh itu ditangan Allah.”

“Insyallah. Aku akan terus belajar, bukankah jodoh adalah cerminan diri sendiri?” ustadz Salman mengangguk. Aku dan Fatimah sedari tadi hanya diam menyimak sambil sesekali tersenyum. Diriku kini masih menata hati yang entah tiba-tiba menjadi sering berdegup tatkala melihat Ferry dan mendengar ucapan laki-laki itu. Allah, apakah ini yang dinamakan cinta? Jika iya, mohon jauhkan aku dari fitnah cinta yang kelak dapat membutakan mata dan hati. Ujarku dalam hati.




Bagikan

Jangan lewatkan

Mahar Cinta (Bagian 4)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

2 comments

Tulis comments
avatar
12 January 2016 at 05:19

cie cie si mbaknya tersenyum mw dilamar hahaha

Reply
avatar
12 January 2016 at 14:26

Banyak makan yang tersurat jadi tersirat disini.

Reply

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..