Mahar Cinta (Bagian 6)


Mahar Cinta (Bagian 6)

 

Mahar Cinta (Bagian 6)


Satu mangkuk besar sayur asem dengan ayam goreng, tempe, dan juga sambal lamongan kini sudah tersaji diatas meja makan rumah. Aku meletakkan teko berisi air putih itu dikiri meja, lantas bersiap untuk memanggil anggota keluarga lain untuk makan malam bersama.

“Pak, makanannya sudah siap. Ditunggu dimeja makan,” ujarku pada Bapak yang masih sibuk membaca koran diruang keluarga. Ia tersenyum tipis padaku.

“Ya, panggil adik-adikmu juga dikamar,” pintanya. Aku menurut lantas menuju kamar kedua adik laki-lakiku yang tak jauh dari ruang keluarga. Ceklek, aku membuka pintu pelan, mengintip mereka yang kini tengah mengaji.

“Assalamualaikum,” ujarku lirih masih dengan kepala yang masuk kedalam kamar. Kedua adikku menoleh.

“Wa’alaikumsalam, mbak,” jawab mereka.

“Ditunggu makan ya, adik-adikku,” ujarku tersenyum.

“Ya, mbak. Syukron,” balas Faris. Adik pertamaku yang masih berumur tiga belas tahun.

Afwan adek,”

Syukron, mbak Ara” ujar Hafidz tidak mau kalah.

Afwan juga adik kecil mbak yang manis,” balasku dengan senyuman. Hafidz terlihat menjulurkan bibirnya pada Faris. Sedangkan Faris tampak mendengus, sudah biasa menghadapi perilaku adik kecilnya yang kadang mengesalkan itu.

Mas nggak mau tau ya. Pokoknya besok adek harus sudah hafal surat Al Bayyinah. Titik! Sudah, baca tasdiq sekarang,” ujar Faris mengakhiri ngaji malam ini. Ia mengusap kedua telapak tangannya didepan wajah, menutup Al-Qur’an lantas menciumnya singkat.

Mas Faris! Kan aku baru kemarin hafalan. Aku gak mau!” Hafidz masih kukuh dengan protesnya. Faris terlihat mengacuhkan sembari tersenyum jahil. Ia meletakkan peci yang dipakainya diatas meja, lantas bergegas untuk menyusul ke ruang makan.

“Sudah jangan protes. Nanti mas Faris adukan sama bapak lho,” Faris terkikih geli melihat ekspresi adiknya yang begitu lucu dan polos.

Mbak Ara, aku ndak suka sama mas Faris,” Hafidz terlihat berlari kearahku, memeluk tubuhku yang masih berada diambang pintu. Aku tersenyum tipis, mengusap puncak kepalanya yang masih dihinggapi peci putih itu pelan.

“Sudah, ndak apa-apa. Ayo makan, mas Faris ndak akan ngomong sama bapak kok. Lagipula kalau hafalannya masih banyak, nanti bisa diundur besok lagi,” ujarku. Hafidz mengangguk pelan, aku lantas melepaskan pecinya dan menggandeng ia untuk makan malam bersama.

***

Bapak dan ibu sudah menunggu dimeja makan. Aku dan kedua adikku segera memposisikan duduk dikursi makan.

“Adek kenapa? Kok wajahnya cemberut gitu?” tanya bapak. Hafidz hanya diam, ia mempoutkan bibirnya kesal.

“Biasa. Baru berantem,” jawabku sekedarnya. Ibu dan bapak tampak menggelengkan kepala kecil.

Mas Faris, jangan suka menjahili adikmu,” tegur bapak yang mendapat cengiran kecil dari Faris. 

“Sekarang minta maaflah.”

“Mas Faris minta maaf ya. Janji deh ndak akan ngulangi lagi,” ujar Faris sembari mengulurkan tangannya ke arah Hafidz. Meskipun dengan ekspresi yang masih belum berubah, Hafidz menerima uluran tangan itu sambil mengangguk kecil.

“Senyum dong,” godaku. Mereka berdua tersenyum, bahkan tertawa kecil setelahnya. Ya, setiap hari memang selalu tidak pernah absen pertengkaran kecil antara kedua adikku ini. Tapi tak butuh waktu lama keduanya akan akur kembali. Kami akhirnya menikmati makan malam dengan hikmad. Tidak ada percakapan, hanya suara dentingan sendok dan piring yang beradu memenuhi gendang telinga kami. Sejak awal bapak memang selalu mendidik kami untuk tidak mengobrol ketika tengah makan, karena hal tersebut memang dilarang dalam islam.

Nduk, setelah ini temani bapak ngobrol diruang keluarga ya,” ujar bapak setelah beliau selesai menyantap makanannya. Aku mengangguk, meskipun ada sedikit rasa bingung. Tidak biasanya bapak mengajakku mengobrol berdua begini jika tidak ada sesuatu yang penting.

***

Ditemani secangkir kopi hitam panas yang baru saja aku seduh, bapak menyesap kopi itu sekali. Aku masih diam, duduk didepan bapak sembari menunggu beliau menyampaikan sesuatu.

Nduk, kamu tau Nak Fatih?” tanya bapak padaku. Aku tampak sedikit berpikir, lantas mengangguk kecil.

“Iya, memangnya ada apa, Pak?”

“Ehmm, kemarin dia dan keluarganya datang kemari.” Aku cukup terkejut. Ada apa gerangan? Tiba-tiba hatiku merasa tidak enak.

Nak Fatih ingin berta’aruf denganmu,” ujar bapak. Aku diam, tidak tau harus menjawab apa. Ini terlalu mengejutkan untukku. “Bagaimana, nduk?” tanya bapakku.

“Tapi, Pak...”

“Kenapa? Apa ada yang mengganjal dihatimu?” Aku menggeleng kecil, tentu saja itu gelengan bohong. Banyak yang mengganjal hatiku kini. Terutama tentang sosok ikhwan disana yang sudah berhasil mencuri hatiku.

“Lalu bagaiamana?” bapak meminta jawabanku. “Semoga kau mau menerima nak Fatih. Dia adalah sosok menantu yang sangat bapak idamkan, nduk. Selain cerdas dan berbudi pekerti sopan, agamanya sangat bagus. Insyallah, dia bisa menjadi imammu yang baik.”

Aku masih mendengar ucapan serta pujian dari bapak pada mas Fatih. Memang benar, mas Fatih adalah orang yang baik, kami sudah berteman sedari kecil dan baru berpisah ketika aku  memutuskan untuk berangkat mencari ilmu ditanah perantauan. Hubungan kami kini juga tak sedekat dulu, aku hanya sesekali melihatnya mengisi acara pengajian dimusola serta masjid didesaku. Ia sangat aktif dalam berdakwah dan menyiarkan agama islam sehingga orang-orang sering memanggilnya Pak Ustad meskipun umurnya masih sangat muda.

“Tapi aku masih belum lulus, Pak,” ujarku beralasan. Sebenarnya tidak ada sedikitpun niat untuk menolak ta’aruf ini. Tapi sungguh, hatiku benar-benar telah terisi orang lain. Bapak terlihat menyunggingkan senyum tipisnya.

“Dia bersedia menunggumu setelah ta’aruf ini sampai jenjang pernikahan. Lagipula tinggal satu tahun lagi kan?. Nduk, anggap saja bapak sedang meminta padamu,” aku diam, sebegitu besarnya kah harapan bapak untuk menjadikan mas Fatih menantunya? Lagipula menurut pemikiran orang Jawa yang aku dengar, pamali seorang perempuan menolak niatan baik dari seorang laki-laki. Aku akhirnya mengangguk pasrah, menerima ta’aruf ini. Bukankah jodoh sudah ada yang mengatur? Jika mas Fatih adalah jodohku, sejauh apapun aku menghindar dan menolak, ia akan tetap menjadi pendampingku. Dan untuk Ferry, seseorang yang masih aku nantikan, hati kecil ini masih berharap bahwa namanya yang tertulis dalam catatan takdirku di lauh mahfudz sana.



Next > > Mahar Cinta Bagian 7...

Bagikan

Jangan lewatkan

Mahar Cinta (Bagian 6)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..