Mahar Cinta (Bagian 3)

Mahar Cinta (Bagian 3)

 

Mahar Cinta (Bagian 3) 

Selama mengikuti mata kuliah pagi ini, pikiranku tidak pernah fokus, selalu tertuju pada keputusan Ferry kemarin malam. Benarkah ia akan melakukan hal tersebut? Semuanya terus terngiang dalam otak. Hati dan logikaku belum bisa percaya. Semudah itukah Ferry melepaskan agamanya setelah hampir 23 tahun hidup bersamanya?

“Fat, apa yang harus aku lakukan? Aku sangat ragu,” tanyaku pada Fatimah setelah kami selesai mengikuti mata kuliah. Aku memang sebelumnya telah menceritakan semua hal yang terjadi padaku dan Ferry.

“Sepertinya dia tulus padamu, Zah. Tidak mungkin kan jika seorang Ferry yang sangat terkenal dengan keteguhannya berani mengambil keputusan tersebut jika ia tidak benar-benar yakin akan pilihan hidupnya.” Aku diam, mencoba meresapi semua perkataan dari Fatimah. Ia menyentuh tanganku, lantas mengusapnya pelan. “Allah telah memberikan hidayah untuk Ferry melalui dirimu,” tambahnya lagi.

“Tapi, Fat ...”

“Percayalah pada hatimu, Zah. Aku yakin, kau pasti bisa memutuskan yang terbaik.”

“Kau mau menemaniku, kan?”

“Insyallah.” Aku tersenyum, Fatimah masih mengamit lenganku. Kami akhirnya berjalan berdua menuju masjid kampus.

Drrrtttt, ponselku bergetar. Ada pesan masuk.

From: Ferry

Assalamualaikum,

Aku sudah menunggumu di masjid kampus. Semoga kamu berkenan menjadi saksiku untuk menjadi seorang muslim, Zah.

Aku menunjukkan pesan itu pada Fatimah, ia tersenyum kecil.

“Sepertinya kita harus cepat kesana,” ujarnya.

Bagikan

Jangan lewatkan

Mahar Cinta (Bagian 3)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

2 comments

Tulis comments

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..