Mahar Cinta (Bagian 7)
Jam sembilan pagi ibu sudah pulang dari pasar.
Belanjaannya yang cukup banyak membuatku mengernyitkan kening, terlebih dengan
sebuah gamis panjang putih gading yang ibu belikan untukku.
“Apa ada tamu yang akan datang?” tanyaku pada ibu sembari
membawa belanjaan beliau.
“Lihat saja nanti malam. Cepat bantu ibu memasak
didapur,” aku mengangguk kecil, lantas mengikuti ibu kebelakang.
Tidak terasa hampir empat jam lebih aku berkutat
didapur bersama ibu. Ayam goreng, sayur soup, kentang bumbu merah, tempe petis,
dan urapan daun singkong menjadi menu utama yang akan disajikan nanti.
Sedangkan menu penutupnya adalah buah melon yang sudah aku iris menjadi bentuk
persegi kecil dan juga pisang hijau.
Malampun tiba, setelah kami melakukan shalat magrib
berjamaah dimusolla kecil yang ada didalam rumah, ibu segera menyuruhku
mengganti pakaian yang tadi pagi beliau belikan. Sebenarnya siapa sih yang akan
datang? Apa jangan-jangan Mas Fatih? Batinku.
“Siapa yang akan datang, bu?” tanyaku.
“Yang kemarin bapakmu ceritakan,” DEG! Benarkan, dia
Mas Fatih. Kenapa tiba-tiba hatiku merasa tidak enak? Secepat inikah?
“Sudah sana ganti bajumu, nduk. Keluarga nak Fatih
akan datang selepas magrib ini,” ujar Bapak. Aku mengangguk singkat, menghela
nafas panjang aku lantas bergegas menuju kamar.
Tidak butuh waktu lama aku sudah mengenakan gamis
putih gading pembelian ibu. Pas dan simple. Tak ada begitu banyak motif yang
terpajang dalam gamis tersebut, karena aku memang tidak terlalu suka. Aku
membalut kepalaku dengan jilbab panjang warna biru tua, lantas menyelipkan bros
kecil motif bunga sakura disampingnya.
Sepertinya keluarga Mas Fatih telah tiba. Aku
bergegas keluar, menuju ruang tamu. Dan benar, disana ada Kyai Sholeh dan Ibu
Aminah, serta disampingnya telah berdiri seorang akhi yang mengenakan gamis putih panjang sepuluh senti diatas
mata kaki dan sebuah peci putih pula yang menutupi kepalanya. Ya, itu pasti Mas
Fatih.
Aku mencium tangan Ibu Aminah dengan disertai senyum
tipis. Beliau lantas memelukku singkat lantas tersenyum ramah padaku.
“Kau sudah besar ternyata, nduk. Dulu bibi masih
melihatmu memakai kaos gantung dan bermain-main dengan Fatih,” ujar Ibu Aminah
mengingatkan masa kecil kami.
“Iya lah bu, orang Fatih juga sudah besar,” tambah
Kyai Sholeh yang membuat kami tertawa kecil. Aku menyatukan kedua telapak
tangan, lantas menyalami Kyai Sholeh, ayah dari Mas Fatih.
Sampai didepan Mas Fatih aku menunduk, lantas melakukan
hal yang sama seperti tadi.
“Bagaimana kabarmu, Zah?” tanya Mas Fatih padaku.
“Alhamdulillah, Mas,” ujarku masih menunduk.
“Alhamdulillah,” balasnya lagi. Bapak menyuruh kami
untuk duduk disofa ruang tamu, aku kebelakang untuk mengambil minum dan makanan
ringan.
***
Aku diam, mendengar percakapan orang-orang didepanku
seraya tersenyum kecil dan sesekali menimpali atau menggeleng.
“Aku masih ingat sekali, waktu itu Fatih marah-marah
tidak jelas setelah pulang dari rumahmu, Zah,” ujar Ibu Aminah dengan senyum
lebar.
“Memangnya kenapa? Apa karena bertengkar dengan
Zahra?” sahut ibuku.
“Tidak, itu karena ia kesal. Seharian bermain dengan
Zahra tapi gadis itu selalu mengajaknya untuk main boneka barbie, memasak, dan
berdandan seperti mengucir rambut.” Semua orang tertawa sembari menggelengkan
kepala tidak percaya.
“Ibu, bukan seperti itu,” elak Mas Fatih. Ia
menunduk, mungkin malu.
“Tidak usah malu, biarkan saja mereka tau. Toh
sebentar lagi kalian akan menikah,” ujar Ibu Aminah sambil tersenyum lebar. Dan
sekali lagi, kata –menikah- yang berhasil sampai ditelingaku, benar-benar
membuat takut.
“Sebenarnya aku ingin Fatih langsung menikah saja
dengan Zahra, tapi anak itu maunya ta'arufan dulu. Padahal keluarga kita kan
sudah saling mengenal, ya,” Kyai Sholeh terlihat menyampaikan rasa kesalnya itu
pada Bapakku. Sedangkan Bapak hanya tersenyum kecil menanggapinya.
“Anak muda kadang memang sukanya begitu,” ujar Bapak
menanggapi.
“Jika aku dan Zahra jodoh, kita akan tetap menikah
kok, Bah,” Mas Fatih juga menimpali.
“Kau ini dikasih nasihat malah menasihati begitu.
Ya, abah tau. Abah selalu kalah jika berdebat denganmu,” ujar Kyai Sholeh
kesal, namun sedetik kemudian beliau tersenyum lantas menepuk bahu anaknya itu
bangga.
“Tidak sia-sia abah menyekolahkanmu hingga menjadi sosok laki-laki
seperti ini. Dan abah juga tidak sabar ingin memiliki menantu sepertimu, Zah,”
Kyai Sholeh melirikku dengan sebuah senyum tipis yang tersungging dibibirnya.
Aku gugup, mengerjapkan mata beberapa kali lantas memaksakan bibir untuk
melengkung tipis, membalas ucapan dari Kyai Sholeh.
Dan disini, aku banyak diam. Ketika semua orang
sangat antusias membicarakan kami berdua, terutama diriku. Tentang study di
tanah perantauan. Tentang kehidupanku dikos. Tentang teman-temanku, dan tentang
kegiatan sehari-hariku. Apa aku betah disana, atau sering rindu kampung
halaman, atau lainnya. Semua itu masuk dalam telingaku, lantas kujawab
sekedarnya. Tak ada yang spesial, karena dihatiku, dipikiranku kini, semua
terpenuhi oleh sesosok laki-laki lima bulan lalu. Dia lah, Ferry.
Pulang ke kampung halaman ini, tak malah membuat
beban pikiranku berkurang. Sebuah ujian datang lagi menghampiri, dan memupuk
ujian satu yang belum usai. Ferry, andai kau datang lebih cepat. Andai kau tak
menjauh dan menghilang dari jarak pandangku. Andai begitu, aku tak akan
mengecewakan banyak orang disini. Mengecewakan karena, aku tak ingin ta'aruf ini
terjadi. Bukan karena aku tak suka Mas Fatih, tapi karena aku belum bisa melupakan Ferry.
“Zah, kau tidak apa?” aku sedikit terkejut ketika
mendapati Mas Fatih sudah menatapku diikuti pula oleh orang-orang yang ada disini.
“Kau memikirkan apa, nduk?” tanya Bapak. Aku segera menggeleng kecil, lantas tersenyum.
“Tidak apa-apa. Maaf ,sedari tadi aku melamun,”
balasku masih menyunggingkan senyum.
Ini pasti rencanaNya. Dan rencanaNya pastilah yang
terbaik dan terindah. Ya, semoga begitu. Batinku menyemangati diri sendiri.
Selanjutnya... Mahar Cinta (Bagian 8)
Bagikan
Mahar Cinta (Bagian 7)
4/
5
Oleh
Nina Fitriani
Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..