Love at First Sigh (Ketika Malaikat Jatuh Cinta)



Love at First Sigh (Ketika Malaikat Jatuh Cinta)

 

Love at First Sigh (Ketika Malaikat Jatuh Cinta)



Namaku Kemala Larasati. Biasa dipanggil Mala. Aku masih duduk dibangku kelas sebelas SMA. Aku dikenal sebagai sosok yang tomboy, eits, bukan tomboy pada umumnya. Penampilanku wajar seperti anak cewek, rambutku juga panjang, wajahku cukup cantik kata temen-temen. Aku bukan atlit, bahkan olahraga menjadi mapel yang sangat tidak kusukai. Aku aktif menjadi anggota OSIS sejak kelas sepuluh. Nilai akademikku cukup baik, itu sebabnya sekolah mengirimku untuk mengikuti osn biologi tingkat provinsi meskipun pada akhirnya harus pulang dengan tangan kosong.

Wajahku yang diatas rata-rata cewek pada umumnya membuat aku cukup dikenal dan disukai banyak cowok seangkatan maupun kakak kelas. Ini tidak mengada-ngada, karena begitulah kenyataannya.

Lalu, kenapa aku disebut tomboy? Itu karena seumur hidup, aku tak pernah sekalipun p-a-c-a-r-a-n. Aku tak pernah sekalipun merasakan hal yang namanya j-a-t-u-h c-i-n-t-a. Selama ini, sudah sekitar lima belas cowok yang cintanya aku tolak. Malas sekali melayani mereka. Aku tidak suka hubungan tanpa komitmen, yang bisa putus kapan saja dan balikan kapan saja. Bayangkan! Seandainya aku pacaran tiga bulan saja, lalu putus, siapa yang rugi? Cewek kan? Tiap hari isinya nangis, gak bisa move on, tiap hari pikirannya cuma mantan melulu, rasanya pengen mati tapi takut. Gila! Aku tak mau mengalami hal itu.

Didalam kamus hidupku, tidak ada yang namanya jatuh cinta. Karena jatuh cinta selalu berhubungan dengan kata -Galau-. Kata yang paling alay menurutku.

“Eh, Mal. Kau tau Kathan nggak? Teman pindahan kita yang baru kemarin menang lomba tilawatil qur’an tingkat provinsi?” tanya Dinda. Seperti biasa, aku hanya menggeleng singkat, malas sekali membahas sesuatu yang tidak penting begitu.

“Hey Mal! Diajak bicara malah cuma geleng kepala gitu. Gak asik ah,” ujar Dinda kesal. Aku menghela nafas panjang, lantas menatap sahabat seperjuanganku itu lekat.

“Oke-oke. Maaf. Lalu, apa hubungannya denganku? Kau ini, aku masih sibuk ngurusi proposal classmeeting nanti,” jawabku seadanya.

“Nggak ada si, aku cuma mau ngasih tau kalo Kathan itu super duper tampan. Dia juga alim banget Mal. Aku jamin deh, sekali lihat, kau akan jatuh cinta. Apalagi kalo denger suaranya lagi tilawah, melting Mal,” jelas Dinda panjang lebar dengan sangat antusias. Aku hanya mangut-mangut. Jatuh cinta? Yang benar saja.

”Kau suka dengannya?” tanyaku penuh selidik.

“Enggak lah. Mau dibawa kemana Mas Ardhi ku.” Aku mendengus. Kenapa juga nama pacarnya itu harus diberi embel-embel -ku-.

“Din, kalo cinta itu jangan berlebihan. Nanti pas putus malah sakit banget lho,” nasihatku pada Dinda.

“Iya-iya. Aku tau kok. Lalu kapan kau mau membuka hatimu? SMA itu masanya pacaran tau. Mau jadi jomblo seumur hidup? Pilih gih sana, banyak cowok-cowok yang udah ngantri mau jadi pacarmu.”

“Sudahlah. Aku anti yang namanya jatuh cinta. Cepat, kau bantu aku menyusun proposal ini daripada hanya ngoceh nggak jelas gitu,”

“Kau ini. Diceramahin malah dibilang ngoceh nggak jelas. Tega.” Dinda memanyunkan bibirnya. Aku tersenyum kecil lantas merangkul pundaknya.

“Iya deh, maaf,” ujarku tulus dengan senyuman.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” aku segera menutup laptop yang kugunakan untuk membuat proposal. Lantas memasukkannya dalam laci meja.

“Itu, Kathan Mal. Kenapa ada makhluk sebegitu sempurnanya, ya?” ujar Dinda. Aku mendongak, Deg! Dinda memang tidak mengada-ngada. Wajahnya yang cukup tampan, dengan tinggi badan sekitar 180 senti, kulit sawo matang, suaranya yang berat terkesan berwibawa. Dia lebih mirip anggota paskibra.

“Perkenalkan, nama saya Muhammad Kathan Al-Farisi. Saya kesini ingin menyampaikan bahwa akan diadakan eskul tilawah qur’an dan pengajian fikih yang akan dilaksanakan setiap hari Rabu dan Sabtu sepulang sekolah. Bagi yang berminat datang saja. Semoga bisa bermanfaat. Jazakumullah khairan katsiran.” Ujarnya “Ehm, ada yang ingin ditanyakan?” tambahnya lagi.

“Sudah punya pacar belum?” celetuk Farah, teman sekelas kami yang disambut riuh tawa dari teman-teman lain. Aku melihat Kathan tersenyum tipis, hingga menyebabkan lesung pipitnya terlihat.

“Alhamdulillah, belum,” jawabnya singkat masih dengan senyumnya yang begitu manis menurutku.

“Ada pin bb? Nomer hape? Nama pesbuk? Twiter? Apa instagram? Nomer rumah?” Kami semua tertawa dengan antusiasme para kaum hawa disini. Sedang aku? Aku masih asik menatapi wajah teduhnya. Gila! Baru kali ini aku terpesona melihat seorang laki-laki. Lagi, Kathan hanya tersenyum simpul tanpa membalas pertanyaan-pertanyaan yang menurutku tidak bermutu itu.

“Apa ada syarat khusus jika ingin mengikuti eskul tersebut? Misalnya harus lancar baca Qur’an, gitu?” tiba-tiba mulutku ini mengeluarkan suara. Semua teman-teman memandangku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan sendiri.

“Tidak ada. Yang penting kita bisa membaca Al-Qur’an. Nanti disana kita akan sama-sama belajar,” jawab Kathan. Aku mengangguk seraya tersenyum kecil.

“Ada yang ingin ditanyakan lagi?” Kathan mengedarkan pandangannya. “Baiklah, Syukron. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” tutupnya lantas keluar.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”

“Sudah tampan, senyumnya sangat manis, tinggi, alim lagi. Benar-benar cowok impian,” ujar teman-teman cewek yang masih kudengar jelas lewat telingaku. Aku masih diam, tanpa sadar tangan kananku terangkat keatas. Memegang dadaku yang entah kenapa tiba-tiba deg degan begini. Aku tersenyum kecil saat membayangkan wajahnya tadi. Apa ini yang namanya jatuh cinta? Secepat ini kah?

“Cie Mala... aku melihatmu tersenyum. Jangan-jangat kau sedang jatuh cinta ya?” goda Dinda.

“Apaan sih. Enggak kali. Orang baru saja lihat masa udah jatuh cinta? Gila itu namanya,” elakku.

“Lalu, kenapa tadi kau bertanya padanya?”

“Memangnya salah? Lagipula, aku sedikit tertarik dengan eskulnya”

“Tertarik dengan eskulnya apa orangnya?” lagi-lagi Dinda menggodaku

“Yang benar saja. Jelas tertarik sama eskulnya lah. Lagian mana ada sekali lihat langsung jatuh cinta? Gila itu!”

“Itu namanya =Love at First Sigh= Jatuh cinta pada pandangan pertama. Awas hati-hati. Jangan ngomong gitu Mal. Nanti kalo jatuh cinta sendiri baru tau rasa lho” aku tak lagi menanggapi omongan dari Dinda. Mengambil laptop, aku kembali menulis proposal yang sempat tertunda akibat kedatangan Kathan.

Ngomong-ngomong soal dia, apa benar aku sedang jatuh cinta? Tapi rasanya sangat mustahil. Pandangan pertama tak bisa dijadikan alasan yang logis untuk seseorang jatuh cinta, menurutku. Gila! Ini sudah gila! Ya, Gila!

END_
Nina Fitriani

Bagikan

Jangan lewatkan

Love at First Sigh (Ketika Malaikat Jatuh Cinta)
4/ 5
Oleh

Berlangganan via email

Tertarik mengikuti Catatan Senja dan artikel tentang tips menulis, ngoblog, dan sastra terbaru? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

Kritik dan Saran anda sangat dibutuhkan demi kemajuan blog kami..